Salah satu novel yang saya suka, The Road karya Cormac McCarthy hanya menampilkan dua tokoh: bapak dan anak. Cerita mengikuti perjalanan mereka, di masa setelah dunia hancur, menuju satu daerah harapan. Konflik terjadi bukan di antara bapak dan anak ini, melainkan antara mereka dan situasi dari waktu ke waktu. Itu yang membuat novel itu keren, dan saya sering membaca ulang novel itu hanya untuk mempelajari perkara teknisnya. Butuh nyali untuk melakukan itu dalam beberapa ratus halaman. Tanpa bermaksud membandingkan keduanya, karena keduanya menceritakan hal yang berbeda dan mempergunakan medium yang juga berbeda, Djenar Maesa Ayu melakukan hal yang juga berani melalui film ketiganya, Nay: kita hanya dihadapkan kepada satu tokoh. Lebih dari itu, tokoh ini hampir sepanjang film juga cuma duduk di belakang setir mobil, yang terus berjalan menyisiri Jakarta (jika saya tak salah menebak, itu Kuningan, Antasari dan Jalan Panjang). Saya sering bertanya-tanya, mungkinkah konflik (hal paling esensial dalam sebuah cerita) bisa dikelola dengan baik tanpa kemunculan banyak tokoh, setidaknya dua tokoh? Bukankah berkelahi juga butuh lawan untuk saling adu pukul? Nay, bagi saya sudah membuktikan bahwa itu bisa. Di tangan Djenar, hal itu bahkan terlihat seperti gampang dilakukan. Tentu dengan trik. Saya ingin menyebutnya sebagai ruang kosong. Kenapa ruang kosong? Justru karena kosong, penonton bisa mengisinya dengan beragam gambaran “tokoh-tokoh” pendamping Nay di film itu, sehingga konflik terjadi dan plot bisa berjalan dengan baik. Djenar mempergunakannya dengan dua cara. Pertama, percakapan melalui telepon. Kita hanya mendengar lawan bicaranya: pacar, ibu si pacar, manajer, produser, dan pemuja (saya tak ingat nama-namanya). Sosok-sosok itu dibiarkan kosong. Kita tak tahu seperti apa mereka, dan satu-satunya petunjuk untuk membangun sosok-sosok itu hanya muncul melalui dialog Nay dengan mereka. Kita sering menemukan ruang imajinasi ini dalam membaca, tapi jarang ketika melihat film. Di sini Djenar memberi kita ruang tersebut. Cara kedua, dengan mempergunakan ruang kosong sebenarnya: kursi mobil di sebelah kiri Nay. Berkali-kali Nay menoleh ke kiri dan bicara dengan ruang kosong di sana, dan cerita terbangun mengenai masa lalunya, mengenai ibu, ayah kandung, dan simpanan si ibu. It takes two to tango, kata pepatah. Tapi sosok kedua yang berperan sebagai pasangan Nay (untuk menggiring cerita) bisa diciptakan melalui ruang kosong, dan kadangkala itu lebih efisien daripada menghadirkan mereka semua. Di luar itu, saya tak ingin memberi bocoran ini film apa. Seperti kebanyakan cerpen-cerpennya, Nay bisa dibilang seperti garis lurus dengan pendar-pendar di beberapa titiknya. Meskipun begitu, ada satu hal yang ingin saya bocorkan. Ada adegan tabrakan di awal dan di akhir. Awalnya saya menganggap itu adegan yang sama sekali tak penting. Tanpa adegan itu cerita utama akan berjalan tetap seperti seharusnya, tanpa terganggu. Mungkin sengaja, mungkin tidak (kita tak perlu bertanya soal ini kepada sang sutradara, juga sang sutradara tak perlu menjelaskannya), tapi tiba-tiba saya merasa itu sejenis kode. Tentang sesuatu yang berulang. Tentang sebuah lingkaran. Lebih tepatnya lingkaran setan. Kita memulai sesuatu dari satu titik, akan berakhir di titik itu kembali, dan selamanya akan begitu. Saya tak suka dengan lingkaran setan ini, dan saya yakin Djenar juga tak suka, dan itulah kenapa ia menulis dan membuat film ini. Lingkaran setan yang hanya bisa dimengerti jika telah menontonnya, tentu. Hal terakhir, saya sering mendengar orang mengatakan bahwa film merupakan bahasa gambar. Jika bisa dikatakan dengan gambar, katakan dengan gambar, jangan melalui dialog verbal. Saya sama sekali tak setuju. Nay juga membuktikan hal ini: film ini menjadi sebuah cerita, terutama karena dialog. Atau bahkan bisa dibilang separoh monolog, meskipun tentu saja gambarnya juga tak sia-sia.
↧