Beberapa hari terakhir ini pekerjaan saya menunggui rumah sambil mengurus dua makhluk: anak perempuan saya dan kucing persia pemberian teman. Tak ada soal. Tinggal memastikan makanan mereka terpenuhi. Masalah suka muncul ketika saya memasak sesuatu, membuka pintu dapur, kemudian seekor kucing kampung (baru melahirkan dua anak) tiba-tiba nyelonong masuk. Lebih sialnya lagi, dia seperti sudah tahu harus ke mana: masuk dengan cepat ke arah tempat makan kucing kami, dan memakan pakan kucing. Kesel? Tentu saja. Saya merasa dirampok di depan mata saya sendiri. Naluri saya segera mengejarnya, menghardiknya, dan memaksanya keluar rumah. Tapi begitu dia sudah di luar pintu, memandang saya dengan tatapan memohon, apalagi dua anaknya bergabung, hati saya runtuh. Kenapa saya memberi makan persia saya dengan begitu melimpah, sementara si kucing kampung malah saya hardik? Saya sedang mempraktekan rasialisme? Saya akhirnya masuk, meraup makanan kucing kami dan memberikannya kepada si kucing kampung yang segera makan dengan lahap. Saya bahkan memeriksa lemari, mengumpulkan sisa-sisa makan sahur (sisa ayam atau ikan) dan memberikannya juga. Semua kejadian itu terjadi, sementara saya dengan sok intelek membaca buku tentang kolonialisme, rasialisme, kekerasan, perbudakan. “Dua abad lalu, satu bekas koloni Eropa memutuskan untuk mengejar Eropa. Ia berhasil begitu gemilang membuat Amerika Serikat menjadi sejenis monster, di mana noda-noda, penyakit dan kebiadaban Eropa telah tumbuh ke arah dimensi yang mengerikan. Kawan, tak punyakah kita pekerjaan lain selain menciptakan Eropa ketiga?” Frantz Fanon dalam bukunya The Wretched of the Earth sedang bicara tentang dosa Eropa, dosa yang sisa-sisanya bahkan masih tersisa hingga hari ini di sebagian besar permukaan bumi: kolonialisasi. Dan kolonialisasi jelas bukan semata-mata datangnya pasukan Eropa ke Afrika, Asia dan Amerika lalu menguasai tempat-tempat tersebut, di sana ada pemaksaan nilai-nilai, perampokan sumber daya alam, rasialisme yang berujung kepada perbudakan. Di dalam banyak aspek, kolonialisme telah menjadikan manusia biadab, manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Tentu saja sangat jomblang dan keterlaluan membandingkan kolonialisasi dan perbudakan manusia dengan pengalaman mengurus kucing ras dan menghardik kucing kampung. Tapi pada saat yang sama, buku itu dengan gamblang menunjukkan banyak hal tentang asal-usul kekerasan yang melekat di kita, prasangka ras dan kelas, dan ketimpangan tak hanya ekonomi tapi juga pendidikan. Saya tak memungkiri kadang punya prasangka atas kucing kampung: kotor, tukang rampok, tukang kawin, dan intinya: savage. Lalu berpikir: kucing kampung juga kalau dipelihara dengan baik dan diberi makan makanan yang baik, tentu juga akan baik (dari perilaku, kebersihan, bahkan mungkin gambaran kita tentang kecantikan). Tapi jelas itu penyederhanaan, dan mungkin penuh bias. Sama seperti penyederhaan jika orang Afrika (atau Asia) seharusnya diberi pendidikan Eropa, tinggal di Eropa, makan makanan Eropa, baju Eropa, agar ia menjadi seperti orang Eropa. Buku yang benar-benar menggedor tak hanya nalar kita, tapi juga nurani. Bagian paling menariknya, karena selain aktivis dan simpatisan kemerdekaan Aljazair, Fanon juga seorang dokter dengan spesialisasi psikiatri, ia bisa bicara dari sudut pandang penyakit-penyakit mental, baik individu maupun sosial. Kolonialisme jelas telah mewariskan banyak masalah sosial, juga masalah mental. Tak hanya di negara jajahan, tapi di negeri-negeri Eropa. Dalam hal ini, bolehlah juga saya curiga, cara pandang kita terhadap kucing peliharaan dan kucing kampung juga sebenarnya dosa manusia yang telah berumur panjang: sejak masa kita mendomestikasikan kucing. Benarkah kucing kampung ingin dipelihara? Jangan-jangan perilaku kucing kampung, yang suka merampok, tukang kawin, dan kotor itu juga “diciptakan” manusia? Sebagaimana para penjajah sering menyebut panduduk negeri jajahan sebagai “pemalas” (dan juga “tukang kawin”?), dan julukan ini juga akhirnya diadopsi sebagian penduduk bekas negeri jajahan (kelas borjuasi kecil yang naik peringkat, dan merasa sudah meng-Eropa) untuk mengata-ngatain rekan sebangsanya yang tidak beruntung. Saya tak tahu apa yang dipikirkan kucing kami ketika ia melongok di jendela dan melihat kucing kampung bergelung di trotoar pinggir jalan. Ada yang mau nulis sehebat Fanon tapi dengan tema kucing? Monggo.
↧