Ketika Yeong-hye memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian, satu keluarga menjadi kacau-balau. Hubungannya dengan suaminya berantakan, hingga mereka bercerai. Hubungan dengan orangtuanya poranda, ditandai dengan kemarahan si ayah ketika mencoba menjejalkan sepotong daging ke mulutnya. Dan hubungannya dengan kakaknya, meskipun tetap baik, tak bisa dibilang tetap sama: kakak iparnya berpisah dengan kakaknya karena membuat film semi porno dengannya. Ya, semuanya karena ia memutuskan untuk menjadi vegetarian. Bagi sebagian orang, menjadi seorang vegetarian mungkin hal yang sepele. Kalaupun meninggalkan persoalan (seperti mencari restoran yang bebas daging, ribet ngurusin menu makanan), itu persoalan dirinya sendiri. Tapi di novel ini, The Vegetarian karya Han Kang, kita bisa melihat bahwa perubahan apa pun, apalagi mendadak dan nyaris tanpa asal-usul yang jelas, bisa mengacaukan banyak hal. Saya tak akrab dengan kesusastraan Korea, tapi tampaknya mereka tengah berusaha menggenjot kesusastraan mereka agar dikenal secara global. Belakangan memang sudah banyak novel-novel Korea hadir dalam terjemahan (Bahasa Inggris, misalnya). Tapi tentu saja kesusastraan tak semata-mata diterjemahkan dan diterbitkan, lalu dipromosikan. Jika urusannya cuma itu, kesusastraan negara mana pun asal ada uang dan kemauan pasti sudah merajalela. Kenyataannya, sebagian besar di antara buku-buku itu (lihat misalnya seri The Library of Korean Literature yang diterbitkan Dalkey Archive), masih kurang menarik perhatian. Nama-nama penulis Korea tetap sayup-sayup, apalagi jika dilihat dan didengar dari sebuah kota pelosok macam Jakarta. Saya tak tahu kenapa. Mungkin bias kurator lokalnya? Mungkin apa yang dianggap keren oleh kurator lokal, ternyata biasa saja oleh publik internasional? Dan lihat saja (ini yang menarik), meskipun begitu satu-dua nama kemudian mencuri perhatian, tapi malahan di luar upaya-upaya promosi “resmi” dengan embel-embel “kesusastraan Korea” (dengan ambisi-ambisi besarnya melalu “The Library of Korean Literature”). Han Kang, salah satunya. Ketika saya membaca novel ini, novel keduanya Human Act baru saja terbit (dan saya rasa, saya juga ingin membacanya). Menurut saya, The Vegetarian merupakan jenis novel yang ceritanya didorong oleh karakter. Karakter yang kuat. Seperti kita tahu, ada cerita-cerita yang bergulir oleh dorongan plot (seperti di banyak novel genre, seperti cerita detektif, cerita romansa, cerita silat atau horor), dan ada cerita yang bergulir oleh dorongan karakter yang kuat. Novel kesayangan saya, Lapar karya Knut Hamsun, atau banyak karya Dostoevsky, umumnya didorong oleh karakter yang kuat. Novel ini dibagi dalam tiga bagian, dan semuanya berputar di sosok Yeong-hye si vegetarian. Di luar dugaan, novel ini sebenarnya tak bicara banyak mengenai vegetarianisme (baik soal kesehatan, spiritual, ataupun ideologi lingkungan hidup). Setidaknya tidak menjadi pokok soal yang pertama. Meskipun begitu, seperti di novel-novelnya Kafka (dan novel ini memang memberi rasa Kafkaesque), novel ini bisa menyelam jauh lebih dalam dari itu, membuat vegetarianisme sebagai permukaannya. Membuat novel ini malah menjadi sejenis horor yang, menakutkan juga mengasyikan. Mungkin saatnya menengok Korea tak hanya melalui K-Pop, tapi juga K-Lit mereka?
↧