“Dulu siapa yang tahu penulis Indonesia. Mungkin hanya Pram (Pramoedya Ananta Toer) dan Andrea Hirata. Sekarang kita tahu Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, dan saya sendiri.” Kutipan itu berasal dari sebuah situs, sebagai kata-kata saya. Ketika membacanya, saya hanya tersenyum geli saja. Sedikit perbedaan pemenggalan kalimat, dan menambahkan kata yang hilang, akan memberi gambaran apa yang saya ingin sampaikan. Sebenarnya kurang-lebih saya ingin berkata, “Dulu barangkali hanya Pramoedya yang karyanya dikenal/diterjemahkan ke luar. Tapi sekarang ada beberapa penulis yang karyanya juga sudah diterjemahkan/diterbitkan di luar, seperti Andrea, Laksmi, Leila, (dan ya, karya saya sendiri).” Ada yang bertanya, ada yang kesel, ada yang uring-uringan. Saya bukan penggemar Andrea Hirata, Laksmi maupun Leila (dan bukan penggemar diri saya sendiri juga, tentu saja). Juga bisa dibilang tidak “berteman”, karena hampir tidak pernah bertemu. Saya pernah bertemu Leila dua-tiga kali, dan sedikit ngobrol ringan. Pernah satu mobil dengan Laksmi, dan itu satu-satunya yang saya ingat pernah ngobrol dengannya. Tidak pernah bertukar sapa dengan Andrea, hanya tahu wajahnya dari foto di media. Saya hanya tersenyum geli, karena saya pikir itu bukan isu yang penting-penting amat untuk diluruskan atau dipikirkan. Tentu saja saya keliru, dan itu ketololan terbesar saya dekade ini. Dalam kesusastraan Indonesia, entah kenapa, itu isu yang sangat penting, sensitif, dan bisa memancing keributan (dan saya dengan senang hati akan tetap tersenyum, dan jika bertemu orang yang tepat, menertawakannya terbahak-bahak, menertawakan ketololan terbesar saya abad ini). Tapi itu membuat saya jadi teringat sejenis “tabu-tabu” yang secara iseng saya susun sendiri (waktu saya sangat melimpah untuk pekerjaan konyol semacam ini). (1) Jangan merasa lebih hebat dari Pramoedya. (2) Jangan merasa dikenal/terkenal, atau jenis kesombongan lain. (3) Jangan memuji Laksmi, Leila, dan Andrea Hirata (hmm, kelihatannya mereka keren ya, sejenis “public enemy” begitu, mungkin saya harus mencoba membaca karya mereka?), apalagi memuji diri sendiri. (4) Jangan pernah menganggap diri sendiri sebagai “perwakilan/suara” kesusastraan Indonesia. Hingga yang terakhir (5) Jangan menyakiti komunitas sastra Indonesia, sebagian di antara mereka teman-teman saya sendiri. Tabu-tabu itu sudah jelas hanya konyol-konyolan, saya sendiri suka menertawakannya di antara teman-teman sendiri. Tapi diam-diam saya menerapkannya, karena saya tak suka aneka keributan macam apa pun. Yang saya tidak sadar, kutipan berita di atas, rupanya bisa ditangkap sudah menabrak kelima tabu tersebut secara sekaligus. Ketika menyadarinya, saya hanya bisa bergumam, busyet. Mati deh, saya. Tiba-tiba saya seperti sudah menyembah batu dan merampok bank. Jika ada yang bisa menambahkan dua tabu lagi, barangkali kita bisa membuatnya sama penting dengan tujuh dosa besar yang harus dihindari umat manusia. Dan berarti ada bahan untuk lelucon lain, tentu. Mungkin benar apa yang dikatakan teman saya, Zen RS, bahwa saya memang perlu lebih banyak piknik, sehingga bisa sedikit mengurangi kadar ketololan. Menulis jurnal ini merupakan bagian dari piknik saya. Jika ini bikin kamu tambah sebal, mungkin saya sudah menabrak tabu untuk kedua kali. Huh? Siapa tahu?
PS. Di situs itu, saya juga menyebut UWRF seperti kotak pandora. Itu dalam makna yang sebenarnya, seperti pendapat saya tentang Frankfurt Book Fair belum lama ini juga sebagai kotak pandora (Anda harus melihat kotak pandora sebagai “kotak pandora”, bukan sebagai gerbang). Acara-acara semacam itu membuka segala hal tentang sastra Indonesia, membuat banyak orang bicara dan memperlihatkan: ambisi-ambisinya, kekonyolannya, rasa frustasinya, kemarahannya, meskipun saya masih percaya kita memiliki harapan-harapan baiknya.