Saya sedang selow. Demikian selow sampai saya baca buku beginian, dan dengan senang hati memberi komentar yang saya pikir sangat cerdas dan membanggakan, tajam dan menggembirakan. Siapa tahu delapan puluh tahun dari sekarang saya jadi filsuf beneran, dan bukan lagi tukang sablon, obsesi yang diwariskan ayah saya. Tapi bener, awalnya cuma mau nyari kata-kata bagus yang bisa dikutip buat disablon di kaos, tapi ya begitulah, entah kenapa ambil buku beginian. Fear and Trembling dibuka dengan pembicaraan tentang keyakinan, berhadapan dengan keragu-raguan. “Descartes, sebagaimana dia sendiri berkali menekankan, bukanlah seorang peragu dalam perkara keyakinan,” demikian buku ini di pengantarnya. (Kutipan itu tak menarik untuk disablon, percayalah). Keragu-raguan Descartes hanyalah metode, dan itu pun dipakai untuk dirinya sendiri. Ya, ya, situ yang belajar filsafat pasti tahu itu. Selepas itu kita akan bertemu dengan kisah Abraham, yang disuruh mengorbankan Isaac oleh Tuhan. Di situlah mulai muncul tentang wajah Abraham yang menakutkan, dan Isaac yang menggigil dan memohon ampun Tuhan (Abraham senang, baginya lebih baik Isaac menganggapnya sebagai monster daripada kehilangan iman kepada Tuhan). Saya masih belum menemukan kutipan yang asyik buat disablon. Tentu saja soal keyakinan ini, Abraham dan kisah pengorbanannya dipuji. “Dia yang berjuang dengan dunia menjadi hebat dengan menaklukkan dunia, dan dia yang berjuang dengan dirinya menjadi lebih hebat dengan menaklukkan dirinya, tapi dia yang berjuang dengan Tuhan menjadi yang terhebat dari semuanya.” Ini keren, nih, buat dikutip. Tapi kepanjangan enggak, sih? Saya terus membaca, berharap di bagian berikutnya Søren Kierkegaard bercerita tentang Star Wars dan bicara tentang pergumulan batin Obi-Wan Kenobi atau Darth Vader (membayangkan gambarnya bakal bagus kalau dicetak), kemudian muncul kalimat-kalimat yang asyik, sebelum sadar saya mulai ngaco soal waktu. Lupa kalau Søren Kierkegaard sudah mati sebelum kisah besar perang antar bintang itu diturunkan ke umat manusia di bumi. Tapi dia akhirnya menyerempet juga beberapa cukilan dari kisah-kisah tragedi Yunani, lumayanlah, dan saya bersua dengan obyek yang sering menarik perhatian saya: “tragic hero”, alias sosok tragis dalam karya-karya tragedi. Menurutnya, Abraham (ya, kembali ke dia, soalnya ini buku ternyata bolak-balik membahas kisah pengorbanan Abraham dari berbagai sudut) bukanlah sosok tragis. Sebab sosok tragis, seperti Agamemnon misalnya, mengasumsikan sesuatu yang partikular naik menempati sesuatu yang universal. Seorang individu, kalau boleh saya menerjemahkan dengan bahasa tukang sablon, mengorbankan dirinya untuk prinsip-prinsip, nilai-nilai, etik komunitas yang lebih luas (keluarga, bangsa, dunia). Lha, memangnya Abraham enggak seperti itu? Dia tidak mewakili prinsip-prinsip keimanan, ketertundukan umat kepada perintah Tuhan? Otak saya mulai agak berat. Maklum keseringan ngisep aroma cat plastisol yang lama-lama kayaknya bikin kepala saya jadi dodol. Tidak, dia berbeda, kata Kierkegaard. Ia melakukannya bukan untuk hal seperti itu, melainkan “untuk Tuhan, atau sama juga dengan, untuk dirinya. Ia melakukannya untuk Tuhan sebab Tuhan menuntut bukti akan keyakinannya.” Perbandingan antara sosok ini dengan sosok-sosok tragis, perbandingan antara jalan keyakinan dan jalan etik, memunculkan beberapa problem (di sini ada tiga problem). Satu yang paling menarik perhatian saya: Adakah penangguhan teologis atas etik? Atau seperti ditunjukan buku ini (artinya bukan pertanyaan yang dibikin-bikin si tukang sablon ini) dengan pertanyaan sederhana: di mana batas untuk menyebut Abraham seorang pembunuh (problem etik) dan seorang hamba yang saleh (ekspresi kepatuhan religius)? Urusan ini, biarlah para teolog dan filsuf macam Kierkrgaard mencoba menjawab dan menjelaskannya. Lagipula akhirnya ia tak jadi membunuh Isaac, kan, sebab Tuhan mengganti anaknya dengan domba. Tapi problem ini sungguh membawa saya ke pertanyaan lanjutan yang mengganggu saya. Bagaimana jika di zaman kita, ada orang yang juga merasa memperoleh perintah dari Tuhan, dan ia merasa harus mengorbankan keluarganya? Tetangganya? Saudaranya? Bangsanya? Sesama manusia lain? Bahkan meskipun itu bertentangan dengan nilai etik sesama manusia? Apakah ada jaminan Tuhan mengganti korban-korban ini dengan domba-domba pula? Baiklah, ini terlalu berat untuk otak tukang sablon, yang lebih sering salah baca daripada mengerti apa yang dibacanya. Berat. Berat banget. Saya sampai “fear and trembling”, nih. Baca buku dan problem filsafat memang berat. Bukannya memperoleh jawaban, tapi malah nambah pertanyaan baru. Mana cat plastisol? Mana?
↧