Jika bertemu dengan seseorang, biasanya ada dua pertanyaan yang umum ditujukan kepada saya. 1) Sedang menulis tentang apa? Yang tentu saja saya tak menjawabnya. Dalam beberapa tahun terakhir, itu menjadi sejenis tabu untuk saya mengatakan tentang apa yang sedang ditulis. 2) Sedang membaca apa? Yang ini, paling banter saya menjawab satu atau dua judul buku secara spesifik. Belakangan saya jarang membaca novel, setidaknya tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Apa yang ada di rak buku saya nyaris sudah terjamah semua (memang isinya tak banyak), dan dalam beberapa waktu saya kembali ke berbagai karya klasik. Beberapa memberi kesenangan yang baru, beberapa memberi kejengkelan yang lama. Bahkan secara acak, tanpa niat untuk mempelajari pemikiran seseorang atau sebuah mazhab, atau sebuah bidang, saya membaca buku-buku filsafat. Hanya untuk menghibur diri, syukur-syukur membuat diri tambah pintar, dan mengomentarinya sesuka hati. Hingga seseorang bertanya, pernah membaca Nadine Gordimer? Ya, pernah. Saya tahu persis, punya bukunya meskipun hanya satu, tapi tak ingat di mana buku itu saya simpan. Itu memberi saya dorongan untuk mencarinya, menemukannya, dan membacanya kembali. Sebuah kumpulan cerita pendek berjudul Crimes of Conscience, yang tampaknya dipilih dari buku-bukunya yang lain. Sejilid buku bekas yang saya lupa peroleh dari mana, penuh coretan (mungkin mahasiswa atau orang yang sedang belajar bahasa) tinta abu-abu, oranye dan merah. Membaca kesebelas cerita di buku ini, kita bisa melihat kisah-kisah di seputar konflik, lebih tepatnya perang Afrika Selatan dari berbagai sudut. Selama konflik, di tengah euforia kemerdekaan, maupun hari-hari setelahnya. Dari sudut pandang gerilyawan, penduduk kulit putih, maupun orang-orang biasa yang harus menghadapi situasi ini dengan cara mereka sendiri juga. Meskipun jelas terlihat simpati Gordimer terhadap perjuangan (membebaskan diri terutama dari politik apartheid) orang kulit hitam untuk memiliki pemerintahan hitam sendiri, cerpen-cerpennya tak jatuh kepada semangat glorifikasi yang membabi-buta. Ia justru masuk ke kondisi-kondisi kemanusiaan, jiwa-jiwa yang tak tertebak, dari manusia-manusia di dalamnya, baik hitam maupun putih, lelaki maupun perempuan. Di cerpen pembuka, “A City of the Dead, A City of the Living”, kita bertemu dengan seorang perempuan yang berkhianat, memberitahu pihak berwenang bahwa di rumahnya tengah bersembunyi seorang gerilyawan yang lama dicari. Tapi pada saat yang sama, kita tak bisa semena-mena memakinya, kecuali memiliki perasaan kecut betapa hal-hal besar seperti perang maupun hal-hal kecil seperti keadaan hidup sehari-hari di dalam rumah, bisa menentukan sikap atau keputusan seseorang. Di cerpen lainnya, “At the Rendezvous of Victory”, kita bertemu seorang pemimpin gerilya, seorang Jenderal yang perkasa dan kharismatik, yang justru menjadi beban di pemerintahan kulit hitam yang dibelanya. Ia tak cocok untuk masuk ke tentara reguler, karena kuatir pengaruhnya yang besar akan mengacaukan peleburan tentara putih dan hitam, hingga diberi tempat di kementrian “rekreasi dan olahraga”, yang perlahan justru membunuhnya, dan menjadikannya benalu bagi kawan-kawan seperjuangannya di masa damai dan demokratis. Penuh ironi, sekaligus kita sadar, hal-hal seperti itu sering terjadi di berbagai situasi di belahan dunia yang berbeda-beda. Salah satu cerpen yang paling saya suka adalah yang terakhir, “The Ultimate Safari”, di mana perang dilihat dari orang-orang desa biasa, korban paling mengerikan dari perang semacam ini. Ini kisah satu keluarga (nenek dan cucu-cucunya) melintasi taman nasional (yang tak hanya dihuni gajah liar, tapi juga singa) untuk menemukan tempat pengungsian. Sebuah cerpen getir tentang pertanyaan yang sangat mendasar dalam situasi seperti itu: di manakah rumah?
↧