Quantcast
Channel: Eka Kurniawan – Eka Kurniawan
Viewing all 259 articles
Browse latest View live

Obituari: Benedict Anderson (1936-2015)

$
0
0

Kami baru bertemu beberapa hari lalu, Rabu, untuk makan malam. Saya bahkan menyempatkan diri berfoto bersamanya, hal yang tak pernah saya lakukan selama beberapa kali bertemu dengannya. Ia makan nasi goreng seafood. Bobot tubuhnya jauh berkurang dari pertemuan terakhir kami (di tempat yang sama, di daerah Tebet). Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Saya bahkan sudah merasa, itu akan jadi pertemuan terakhir kami. Tapi tetap tak menyangka akan secepat itu.

Saya memanggilnya Om Ben, sebab dia sendiri menyebutnya begitu sejak pertama kali kami berkenalan. Di masa Orde Baru, ia dilarang masuk ke Indonesia, membuatnya mengalihkan perhatian studi-nya ke negara-negara Asean lain, terutama Thailand dan banyak menghabiskan waktu di sana. Tahun 1999, setelah Soeharto jatuh, ia diperbolehkan untuk datang kembali. Baru beberapa tahun kemudian, 2007, seorang staf perpustakaan Cornell University (yang saya sudah beberapa kali ngobrol di forum internet) mengirim surel, bilang sang profesor akan berkunjung ke Jakarta di bulan November, dan ingin bertemu. Itulah kali pertama saya bertemu dengannya, di apartemen satu kamar di daerah Benhil, tempat saya tinggal di masa itu. Saya hanya menyuguhkan Teh Botol (untunglah dia suka), dan kami ngobrol ngalor-ngidul, terutama tentang daerah-daerah yang pernah dan ingin ia kunjungi di Jawa bagian selatan.

Ada tempat-tempat yang ia rekomendasikan untuk saya kunjungi, dan saya belum memenuhinya. Sebuah pulau di tengah situ, di daerah Tasikmalaya, yang dipenuhi ular dan kalong raksasa, misalnya. Juga kuburan seorang aulia yang ramai dikunjungi peziarah. Minatnya luar biasa, dan dia selalu penuh antusias untuk membaginya.

Ketika saya di Australia bulan Agustus lalu, saya bertemu dengan salah satu sahabatnya, Tariq Ali. Tariq bertanya satu hal yang membuat saya waswas sejak itu, “Apa yang terjadi dengan Ben?” Awalnya saya tak tahu apa maksud pertanyaan itu. Kemudian ia bergumam, “Aku kuatir. Bagaimanapun ini akan terjadi. Akan terjadi padanya, akan terjadi padaku.” Saya mulai mengerti apa yang dibicarakannya. Terutama ketika Tariq bercerita tentang keluarga Ben, yang menurutnya luar biasa. Tentu saja termasuk Perry (Anderson), salah satu editor New Left Review. Perasaan waswas saya semakin menjadi-jadi ketika bulan berikutnya saya pergi ke Amerika, dan sempat bertanya kepadanya, apakah bisa berjumpa di sana. Ia bilang tidak bisa. Dokter menyuruhnya istirahat selama sebulan. Saya merasa itu sesuatu yang serius, tapi ia menyangkalnya dengan mengatakan, kata dokter semua organ tubuhnya berfungsi dengan baik. “Aku hanya tua, harus beristirahat.” Menghormatinya, saya memutuskan tidak menemuinya.

Mungkin saya harus mengingatkan bahwa ia merupakan salah satu orang penting dalam perjalanan kepenulisan saya. Setahun sejak pertemuan pertama kali, di edisi 86 jurnal Indonesia terbitan Cornell, ia menerjemahkan “Corat-coret di Toilet”. Ia ingin pembaca bahasa Inggris membaca apa yang saya tulis. Ia melakukannya lagi dengan cerpen “Jimat Sero”, untuk jurnal Indonesia edisi 89. Ia mengaku ingin menerjemahkan novel saya, tapi tak sanggup mengingat stamina yang dibutuhkan, dan senang bisa melakukannya dengan cerpen-cerpen saya. Bahkan sebenarnya ia sempat berpikir untuk menerbitkan beberapa cerpen saya dalam satu buku. Tapi yang ia lakukan jauh dari itu. Ia memperkenalkan novel-novel saya kepada banyak orang, termasuk memberi jalan untuk saya bertemu dengan penerbit Verso Books, yang di tahun ini menerbitkan Man Tiger, terjemahan Lelaki Harimau. Ia bahkan berbaik hati menulis pengantar untuk buku tersebut. Setidaknya ia sudah melihat buku itu terbit, yang sudah ia singgung sejak perbincangan kami di tahun 2007 lalu itu.

Di pertemuan terakhir itu, ia mengaku sedang menulis otobiografi. Kita berharap bisa membacanya. Setidaknya, ada banyak orang yang bisa menceritakan kisah hidupnya, juga pergulatan intelektualnya. Di makan malam terakhir itu, saya sempat tergoda untuk membawa buku-bukunya, dalam bahasa Inggris maupun terjemahan Indonesia, untuk ditandatanganinya. Tapi di detik akhir saya mengurungkan niat tersebut, segan untuk mengganggunya. Saya hanya ingin bertemu, makan malam, dan berbincang santai. Buat saya, peninggalan Om Ben yang paling berarti tetaplah apa yang saya ingat tentangnya. Terutama segala yang pernah dilakukannya.

Selamat jalan, Om Ben.


World Literature Today’s 75 Notable Translations

$
0
0

Two Indonesian novels, Beauty Is a Wound (mine) and Leila S. Chudori’s Home are among 75 Notable Translations 2015 from World Literature Today.

The Best Fiction 2015, Flavorwire

$
0
0

“It may be cheating to include two novels by one author, but there is no doubt that the year’s most important revelation-in-translation is Eka Kurniawan, whose searing works of so-called magical realism set in Indonesia should not be missed by any reader, especially those who are unafraid of sex and violence. If you’re tired of rereading Gogol and Dostoevsky, turn to Kurniawan instead.”

Beauty Is a Wound and Man Tiger are among Flavorwire’s The Best Fiction 2015.

Saya dan Ben

$
0
0

with_ben_anderson

Saya dan Benedict Anderson, selepas makan malam terakhir kami, 9 Desember 2015. Hanya tiga hari sebelum ia meninggalkan kita untuk selamanya.

Seperti Dendam, English Translation

$
0
0

Following Beauty Is a Wound (2015) and Man Tiger (2015), my third novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (originally, 2014) will be available in English-translation (tr. Annie Tucker, expected Spring 2017). The book sold to three publishing houses for three different territories: New Directions (US and Canada), Pushkin Press (UK, Comm. exl Canada and ANZ), and Text Publishing (ANZ). At the same time, Pushkin Press acquired Beauty Is a Wound for UK, while Speaking Tiger will publish it for Indian sub-continent market (which bring the total count up to 27 publishers, in 23 languages).

The Bridegroom Was a Dog, Yoko Tawada

$
0
0

Cerita tentang seorang puteri yang kawin dengan anjing, tak tertahankan membuat saya terseret ke novela ini. Saya akrab dengan cerita tersebut. Ya, Dayang Sumbi dan Si Tumang, anjingnya. Ayah dan ibu Sangkuriang dalam cerita rakyat Sunda. Saya bahkan mempergunakan dongeng tersebut, dengan modifikasi, di novel pertama saya. Dan kini saya menemukan seorang penulis Jepang (yang juga menulis dalam bahasa Jerman) menceritakan kisah yang sama dalam The Bridegroom Was a Dog (terbit pertama kali 1993). Saya tak tahu apakah Yoko Tawada, penulisnya, pernah mendengar dongeng Dayang Sumbi dan anjingnya atau tidak, tapi di novel tersebut ia menulis “… beberapa orang bertanya-tanya tidakkah Mitsuko Kimura telah menghabiskan waktunya di Asia Tenggara, atau bahkan sejauh Afrika …”, dan di bagian lain, ketika Mitsuko menerangkan salah satu orangtua muridnya, ia mengatakan “… tampaknya ia mengetahui segala hal menarik seperti lingkaran kehidupan buaya dan struktur rumah-rumah Indonesia …” Mitsuko Kimura adalah tokoh utama novela tersebut, seorang guru sekolah dasar yang menceritakan kisah puteri yang kawin dengan anjing kepada murid-muridnya. Gara-gara cerita tersebut (dan beragam ucapan-ucapan serta tingkah-lakunya), ia sering menjadi obyek desas-desus para ibu dari murid-muridnya. Jadi, menyinggung Asia Tenggara dan Indonesia, anggaplah Yoko Tawada pernah mendengar dongeng itu. Menarik, kan, cerita rakyat dari negeri jauh bisa memengaruhi penulis kontemporer dari negeri asing? Saya jadi ingat bertahun-tahun lalu, seseorang bertanya kepada teman saya sesama penulis, Dinar Rahayu, kira-kira begini: “Ketika banyak peneliti asing terpukau dan menulis tentang kebudayaan dan dongeng Indonesia, kenapa kamu malah menulis tentang mitologi-mitologi asing, tepatnya Skandinavia?” Saya selalu ingat jawabannya, karena saya suka sekali, “Kalau mereka menulis tentang kita, kenapa kita enggak boleh menulis tentang mereka?” Kembali ke novela ini, meskipun pendek, penuh dengan karakter-karakter yang misterius. Dan tentu saja juga menghasilkan rangkaian cerita yang misterius. Tentang orang-orang yang datang dan pergi dengan cara aneh. Pertama, tentu si guru sekolah yang diceritakan sebagai perempuan tiga puluhan yang tiba-tiba muncul dan membuka sekolah. Meskipun terasa aneh, tapi karena dia ramah, orangtua mempercayakan anak-anak mereka di bawah pengajarannya. Lalu muncul seorang lelaki yang tinggal di rumah si guru, bercinta dari waktu ke waktu, sampai ketahuan bahwa ia suami orang yang kabur sejak tiga tahun lalu. Ketika isterinya diberitahu, ia sama sekali tak terkejut dan menanggapinya biasa-biasa saja. Semuanya, semua keanehan itu, berawal dari gigitan anjing. Cerita yang ganjil, tampak seperti dongeng antah-berantah, tapi sekaligus terasa nyata terjadi di lingkungan urban, di satu sudut Tokyo. Tidak ada yang fantasi maupun magis dalam novela ini, tapi kesan ganjilnya tetap terasa. Suatu keganjilan yang barangkali akan mengingatkan kita pada kisah di novel-novel Kafka, terutama kisah mengenai K atau Joseph K. Perbedaannya, di novela ini kita tidak menemukan K atau Joseph K, sebab K atau Joseph K di novela ini tak lain adalah kita, pembaca. Kita masuk ke dunia cerita yang mengombang-ambing: kita mengerti kenapa itu terjadi, tapi pada saat yang sama, kita terus bertanya-tanya kenapa itu terjadi. Kenapa Mitsuko bisa menerima Taro di rumahnya, kenapa Taro bisa pergi dengan Toshio, kenapa anjing bisa kawin dengan seorang puteri, dan kenapa anak si puteri bisa dengan tolol menikahi ibunya?

Dua Buku, Sampul Baru

$
0
0

lh-sdrhdt-cet3

Cetakan baru Lelaki Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (ketiga), dengan sampul baru, sudah bisa diperoleh di toko buku terdekat, atau toko buku daring. Cetakan baru Cantik Itu Luka (kedelapan) juga sudah bisa diperoleh, meskipun tidak dengan sampul baru.

sdrhdt-drawing

Ini gambar ilustrasi untuk sampul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang baru, ketika sedang dikerjakan.

The Leviathan, Joseph Roth

$
0
0

Leviathan, menurut Perjanjian Lama, merupakan monster laut. Judul asli novela ini sebenarnya, kira-kira, “Penjual Batu Karang”, ditulis oleh Joseph Roth, penulis Yahudi Jerman yang meninggal di usia masih cukup muda, empat puluh lima. Kalau mau jujur, The Leviathan ini memang bisa dikasih judul apa saja. Untuk sebuah buku yang kurang dari enam puluh halaman, dengan cerita yang boleh dibilang sederhana menyerupai dongeng, bahkan fabel, rasanya banyak hal disinggungnya. Meskipun tidak secara langsung. Pertama, sebagai dongeng, novela ini bisa dilihat sebagai kisah mengenai kejatuhan disebabkan godaan Si Jahat (si monster laut?) yang telah mengubah manusia saleh, Nissen Piczenik si pedagang batu karang, ke keburukan. Ia yang seumur-umur tinggal di kota kecil Progrody dan hidup relatif sukses (ia bisa menabung), terobsesi dan tergila-gila untuk melihat laut, rumah dan tempat asal-usul batu karang jualannya. Hingga satu hari ia akhirnya pergi ke Odesa, kota pelabuhan terdekat, dan sejak saat itu hidupnya berubah. Hidupnya semakin berubah demi mengetahui ada cara lain untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan mencampur batu karang asli dan yang palsu (yang terbuat dari seluloid). Kedua, kita juga bisa melihatnya sebagai fabel kapitalisme. Tentang sikap rakus, sikap kehendak memperoleh keuntungan berlipat-lipat, persaingan bisnis (kapitalisme seolah menciptakan persaingan yang membuat pedagang berusaha menurunkan harga sekompetitif mungkin, tapi pada dasarnya tetap dengan tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya), yang berujung kepada penipuan (mengenai batu karang palsu). Ketiga, bisa dianggap sebagai dongeng moral. Awalnya Nissen merupakan pedagang yang sangat disegani, meskipun ia berasal dari golongan minoritas. Orang-orang percaya kepadanya. Para petani yang sering membeli batu-batu karang darinya, selain untuk perhiasan, juga untuk menangkal marabahaya dan nasib buruk. Tapi begitu ia mencampur batu karang asli dan palsu (dan tanpa mengubah harga), pada saat yang bersamaan penyakit datang mewabah. Orang-orang mulai menganggap batu karangnya membawa keburukan. Mereka mulai menghindarinya, tak lagi membeli batu karang darinya, dan saat itulah kejatuhannya hanya masalah waktu. Tentu saja kita bisa melihatnya dengan berbagai cara selain yang sudah saya sebut. Seperti saya bilang, untuk novela sekecil ini, kandungannya sangat kaya untuk menjadi telaah yang mengasyikkan: moral, politik, ekonomi, bahkan agama, sosial, psikologi, gender (lihat hubungan si pedagang batu karang dengan isterinya), bahkan geografi dan kosmologi. Saya tak tahu banyak tentang penulisnya. Penelusuran kecil tentangnya memberi informasi ringkas, bahwa di awal-awal karirnya ia tampak menjanjikan melalui novel debutnya. Bisa dibilang ia memiliki jiwa para penulis besar (penerjemahnya menyebut pembukaan novela ini mengingatkan kepada Dostoyevsky dan Gogol). Tapi nasib tak bisa dielakkan. Perang Dunia II datang, Hitler berkuasa. Ia terpaksa lari, eksil, dan hidupnya tercerabut. Dan kemudian mati relatif masih muda. Kita sering berharap menulis sesuatu yang ringkas tapi bicara banyak. Kebanyakan di antara kita gagal melakukannya: bicara banyak, tapi tidak ringkas, dan akhirnya kosong tak ada isinya. Itu tak berlaku untuk novela ini, sebagaimana sering terjadi pada fabel dan dongeng yang diceritakan turun-temurun.


Pre-Order: “O”

$
0
0

“Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut.” Novel keempat saya, O, akan terbit Februari 2016. Pre-order segera dibuka 11-23 Januari 2016 di beberapa toko buku daring (berhadiah t-shirt, terbatas, siapa cepat dia dapat). Sila memantau di twitter @gramedia dan @sastragpu.

Beauty Is a Wound, Audiobook

$
0
0

Beauty Is a Wound is now available in unabridged audiobook format from Audible Studios. Narrated by Jonathan Davis, listen to the audio sample here.

“Cantik Itu Luka” Sepuluh Tahun Kemudian.

$
0
0

“… menurut saya Cantik Itu Luka tak mampu mengoptimalkan kekayaan bahasa tulis. Cantik Itu Luka seolah tidak menyadari bahwa bahasa tulis memberikan kemungkinan-kemungkinan terjauh dalam sebuah karya sastra.”

Cantik Itu Luka Sepuluh Tahun Kemudian” oleh Muhamad Aqib, Qureta.com.

Beauty Is a Wound, The Australian

$
0
0

“Kurniawan has confounded many because he is simultaneously working as a realist and an absurdist, staying true to the truly turbulent fictions and realities of his home country.”

Beauty Is a Wound review by Sam Twyford-Moore, The Australian.

Pre-Order: “O”

Truk “Cantik Itu Luka” Keempat

$
0
0

truk-cil-2016

Pernah ada orang bertanya, apa “pencapaian” terbesar dalam karir saya sebagai seorang penulis? Jawaban saya: melihat judul novel saya di badan truk.

Ini truk keempat yang saya lihat fotonya, dengan “Cantik Itu Luka” di badannya.
Foto diperoleh dari laman milik Muhammad Anang Pambudi.

Novel ketiga saya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, juga merupakan tribut untuk penyair jalanan yang menuliskan karyanya di badan truk.

Masa Depan Indonesian Literature

$
0
0

Masa depan Indonesian literature kalo sekiranya memang panjang umurnya, mungkin harus ditulis dengan Indonesian yang buruk lagipula benar (ato salah, semoga dibuka saja pintu kebahagiaan). Udah pasti susah, soalnya, yang buruk dan bisa benar bisa salah tuh enggak ada aturannya (kalo ada yang coba-coba membuatkan aturannya, boleh juga untuk dibikin tenggelam ini orang). Kalo ada aturan kan jelas, kayak aturan lalu-lintas. Lampu merah, yo berhenti. Huruf S dicoret, orang tolol juga tahu artinya enggak boleh stop, apalagi parkir dan numpang eek (ato malah boleh?). Ngikutin aturan itu capek. Lo pikir kita mesin, otak kita gampang diprogram buat ngikutin aturan ini dan itu. Berenti aja jadi manusia, pindah agama jadi robot. Udah pasti robot pinternya lebih kebangetan. Kita semua enggak ditakdirkan sekece robot, beberapa terkutuk lahir jenius. Sedikit, sih, tapi ada. Ada. Meskipun kece sih tidak. Robot tak ada yang jenius. Ribit mungkin ada. Tai yang jenius melimpah. Naik mobil pake aturan. Upacara bendera ada protokolnya. Beli susu kopi (apa kopi susu? Bodo, lah) di Starbucks, eh kenyataannya ada aturannya pula (antri, bayar dulu, antre lagi, baru dapet kopi susu — eh susu kopi). Numpuk duit ada aturannya. Mau nyumbang tanah dan bikin masjid gede banget, juga terbikinlah aturannya. Sekarang, masa mau ngarang cerita dan berpenyair juga diatur-atur? Kebangetan. Ejaan harus begini, bikin kalimat harus begono, kalo enggak begono elo kesambet setan. Kontol lo dicabut orang. Ngehek emang. Hidup susah, kalo mau tambah susah, coba jalan pake telinga. Ato nyeruput kuah baso pake idung, enak plus ingus dan upil. Mau susah yang berlebih-lebih???!#$@??! Coba saja kau kawin dengan tujuh belas setengah manusia freak kontrol (atau kontrol grand prix, gue lupa?), mampus deh lu dikoyak-koyak obeng. Ngomong-ngomong, menurut hamba sahaya ini yang imut bersahaja, ngarang susastra itu seperti pasang sepatu. Kadang-kadang pengin pake sandal, boleh juga ingin nyeker. Besok-besok, ternyata pengin pakai celana pendek, atau cangcut kebalik. Pokoknya susastra itu seperti sepatu dipasang di kaki, atau diemut. Atau beli kacamata di toko, sebelumnya boleh berminum cendol, boleh juga bergandengan pacar di tangan. Memakai sepatu, terbukti akurat dan meyakinkan, menjelaskan dengan gamblang apa itu susastra. Yang enggak bisa diomongin susastra sarjana, karena mereka lupa buka sepatu kalo bercinta. Jadi gimana masa depan literature van Indonesian? Syuram tapi menjanjikan. Menjijikkan tapi asoy geboy. Tak perlu ada criticus, juga editeur, apalagi pengamat pertandingan prosa atau puitik. Ngepel trotoar pasti udah lebih berguna untuk mereka. Enggak perlu pula rumah-rumah budaya, ganti saja semua itu jadi pleygron, biar kita bisa bobo-bobo dan main-main dipepende mbak-mbak dan abang-abang. Tidak perlu selesai menulis, sebab Kafka pun sampai sekarang tidak selesai-selesai menyelesaikan novelnya, meskipun berkali-kali dicetak tetap juga tidak selesai-selesai. Yang kita perlukan cuma … kebahagiaan dunia-akherat, baby. Tak ada hasil prakarya yang buruk, soalnya semua sampah tapi jangan kuatir bisa didaur ulang dan ramah lingkungan menjadi enerji drink yang terbaharukan, tidak pula ada otak goblok, sebab semua goblok dan yang paling goblok cuma robot. Satu-dua ada yang jenius, biasanya tai dan bulu ayam. Dan itu masa lalu yang enggak move on-move on. After mas-mas motivator: Masa depan Indonesian literature adalah sudah pasti the future of kesusastraan Indonesia.


Dimples, The White Review

$
0
0

My short story, “Dimples” is part of the January 2016 Translation Issue from The White Review. Translated by Annie Tucker, originally published as “Lesung Pipit” in Cinta Tak Ada Mati.

Pushkin Signs Two Novels by Eka Kurniawan

$
0
0

Pushkin Press has signed the “breakthrough debut” Beauty Is a Wound (Cantik Itu Luka) and an “explosive” novel, Love and Vengeance (working English title, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), by Indonesian writer Eka Kurniawan. Both are translasted by Annie Tucker.

Source: The Bookseller

Burning Bright, A Profile from The Enconomist

$
0
0

CZbOE24XEAEC4oU.png-large

“If Mr Eka feels burdened by other people’s expectations, he does not show it. Small, slight and bespectacled, with a thoughtful elfin manner and a ready grin, he looks perhaps half his age, and chats freely and easily, without any apparent writerly agony.”

LOL. That’s me, a profile by Jon Fasman from The Economist, “Burning Bright”.

Pre-Order “O” Kedua

10 Other Magical Books ‘Harry Potter’ Fans Should Read

Viewing all 259 articles
Browse latest View live