Quantcast
Channel: Eka Kurniawan – Eka Kurniawan
Viewing all 259 articles
Browse latest View live

Man Tiger, A Round-Up


Interview, Electronic Literature

$
0
0

The society tends to simplify it as “magical realism,” just because of how it shows up, both fantastically and realistically. We rarely identify Kafka as a magical realist writer, despite the fact there are many fantastic elements in his works. And why are the comic characters from DC and Marvel not called magical realism, even though they have plenty of fantastic elements? The magic aspects in my novel are influenced by horror and silat (Indonesian martial art) novels of the 1970s. Beauty Is a Wound is quite tricky, as it’s difficult to put it in one genre. Classifying it as “magic realism” would be easier for people to figure it out.

Read my conversation with Electronic Literature.

The Film Club, David Gilmour

$
0
0

Satu siang sepulang dari sekolah, anak perempuan saya bertanya, “Ayah, kalau wajah Kinan ditukar sama wajah Kamia (teman dia), gimana?” Saya segera tahu, pertanyaan itu tak hanya harus dilihat sebagai pertanyaan naif seorang anak lima tahun, tapi sekaligus tantangan berat untuk seorang ayah: apa yang kamu bisa lakukan dengan pancingan pertanyaan semacam itu? Ada satu memoar yang saya sukai karena banyak ngebahas film, tapi juga karena godaan praktisnya: The Film Club karya David Gilmour (saya baca terjemahan Indonesia, “Klub Film”, empat tahun lalu. Yang berminat, tampaknya harus cari di loakan). Bagi penggemar film, buku itu merupakan penjelajahan khasanah film dunia, penuh dengan kritik tersembunyi sekaligus lelucon. Tapi lebih dari itu, saya menyukai gagasan mendasarnya: kamu bisa belajar dari apa pun. Inti ceritanya (spoiler, tapi apa salahnya? Buku yang baik akan kamu baca berulang-ulang meskipun tahu isinya. Buku yang kamu ogah baca karena sudah tahu isinya, mungkin memang tak layak dibaca, bahkan sekali pun): seorang anak putus sekolah dan si ayah pusing bagaimana bisa mendidik anaknya tanpa harus mengirimnya ke sekolah. Ia akhirnya bikin kesepakatan dengan si anak: boleh enggak sekolah, asal nonton tiga film dalam seminggu. Nah, si ayah (yang kritikus film) mulai mengkurasi film apa yang harus ditonton si anak. Setelah menonton mereka ngobrol, diskusi. Dari obrolan itulah si ayah, tak hanya menyisipkan segala hal pengetahuan mengenai film, tapi juga mengajari si anak mengenai matematika, sosiologi, sejarah, geografi, segala hal yang diperlukan anak lima belas tahun. Saya yang pada dasarnya tak suka sekolah, dan punya pengalaman buruk dengan sekolah (ya, ya, dikeluarkan dari sekolah ketika berumur empat belas tahun, persis seusia si anak di buku ini) tentu saja dengan cepat memiliki ikatan dengan buku tersebut. Memang banyak buku tentang anak-anak dan pendidikan, bahkan di Indonesia. Tapi sialnya, sebagian besar buku ditulis untuk orang-orang yang ingin sekolah. Sekadar ingin sekolah, atau ingin sekolah tinggi hingga ke luar negeri. Tak ada yang salah dengan itu. Mungkin memang banyak orang ingin sekolah dan kesulitan memperoleh akses terhadap lembaga tersebut. Keinginan saya justru sebaliknya: enggak pengin sekolah. Seandainya ayah saya membaca buku ini, atau berpikir seperti David Gilmour, mungkin pada akhirnya saya tak perlu kembali ke sekolah. Alangkah senangnya kan, jika bisa di rumah saja, menonton film, mendengar dan main musik, membaca buku, tanpa harus memikirkan pekerjaan rumah, bangun pagi karena jam tujuh harus ada di kelas, harus pakai seragam, harus potong rambut dengan rapi (saya mulai menguap). Buku ini saya rasa sama sekali tak menganjurkan orangtua untuk menarik anaknya dari sekolah, tapi yang terutama bagaimana orangtua terlibat dalam pendidikan anaknya dengan cara menyenangkan. Siapa pun bisa tetap seperti David Gilmour meskipun anaknya (suka) pergi sekolah. Tantangan terberatnya, tentu saja mempersiapkan orangtua untuk menjadi jembatan ke banyak pengetahuan, dan berhenti berpikir bahwa tugas ngajarin anak itu seratus persen kerjaan guru. Kalau gurunya ngajarin yang enggak bener, baru ngomel-ngomel di belakang. Kembali ke pertanyaan awal, sebagaimana juga banyak pertanyaan anak kecil lainnya, bukankan itu tak sekadar pertanyaan naif, tapi juga pertanyaan spekulatif yang bisa membawa ke banyak soal di dunia? Mendengar pertanyaan itu, sambil memikirkan buku The Film Club, saya jongkok (selalu menyenangkan bicara dengan anak kecil, dengan posisi mata sejajar) dan bertanya balik kepadanya (yang saya sendiri harus mikir untuk menjawabnya): “Kalau wajah Kinan dan Kamia ketuker, terus siapa ayah Kinan dan di mana rumah Kinan?” Saya rasa ia tak hanya sedang belajar sosiologi, tapi juga filsafat.

Hidung Gogol

$
0
0

Kang Gogol, kumaha damang? Saya baru baca cerpen “Hidung” karya sampean. Saya kok bingung ya, ketika Kovalev kehilangan hidungnya dan hendak melapor ke polisi, eh dia malah ketemu hidung itu. Si hidung turun dari kereta kuda dan bahkan memakai seragam pejabat. Saya enggak bisa bayangin hidungnya macam apa, ya?

Ah dasar sia, belegug! Matak oge ari maca pake isi babatok. Pakai imajinasi. Masa gitu aja enggak ngerti. Hidung ya hidung. Dia kehilangan hidung dan dia melihat hidungnya. Tentu saja dia segera mengenalinya. Bukankah hidung merupakan sesuatu yang paling depan ada di wajahmu. Ketika kau bercermin, apa yang paling nampak? Hidung! Kalau kau tak mengenali hidungmu sendiri, kau tak tahu rupamu sendiri. Paham? Soal bagaimana bentuk hidung itu, hanya Kovalev dan isi kepalamu yang tahu. Kalau kau enggak bisa membayangkan itu, berhenti saja baca buku. Enggak ada gunanya baca kalau enggak punya imajinasi.

Baiklah. Hampunten simkuring, Kang. Ngomong-ngomong kok sekarang jarang nulis cerpen lagi? Maksudnya di media massa, di koran atau majalah. Enggak suka ya nulis di sana?

Siapa bilang enggak suka? Cerpen “Hidung” awalnya diterbitin di majalah. Editornya Pushkin. Kenal Pushkin, kan? Eta editor anu keren, lah, ceuk barudak zaman sekarang mah. Editor sekarang enggak ada yang sekeren itu, makanya saya teh jadi males. Geuleuh lah mun ngaku editor tapi teu nyaho mana anu alus mana anu butut. Bisa diajak duel sama Pushkin. Untunglah Pushkin udah mampus, jadi editor-editor butut bisa tetep hirup.

Ternyata Kang Gogol teh galak, nya. Soal “Hidung”, ada satu penulis muda belia yang juga menulis cerpen berjudul “Hidung”. Nama penulis itu Ryūnosuke Akutagawa. Kenal?

Tentu saja kenal. Akutagawa teh salah satu penulis muda yang moncereng. Cerpen “Hidung” miliknya sudah jelas berbeda dengan “Hidung” milik saya, meskipun ada satu hal yang menautkan kami berdua. Dalam kedua cerpen, sudah jelas betapa hidung bisa sangat mengganggu kehidupan seorang manusia. Yang satu bercerita tentang kehilangan dan penemuan hidung, yang lain bercerita tentang hidung yang kelewat panjang sampai menggelambir ke bawah dagu. Saya rasa di masa depan Akutagawa bakal menjadi penulis yang sangat diperhitungkan. Sangat segar.

Itu enggak basa-basi, kan? Biasanya penulis tua sok basa-basi muji-muji penulis muda?

Si borokokok, teh! Nya henteu. Aing mah tara basa-basi. Mun cik aing butut, nya butut. Cik aing hade nya hade. Ulah sok belegug kitu tatanya, teh.

Baiklah, Kang Gogol. Satu lagi nih. Saya baca novel sampean berjudul Tarass Boulba, terbitan Balai Pustaka. Di sampulnya ditulis “Gogol lebih baik dikenal sebagai pengarang jang berbakat humoris daripada sebagai pengarang prosa klasik.” Tanggapan Kang Gogol?

Balai Pustaka aja lo denger. Enggak tahu itu penerbit antek kolonial? Dibikin buat ngeracunin otak inlander? Mikir sia teh!

Beauty Is a Wound, Speaking Tiger

$
0
0

700-bisw-ind2016

Indian subcontinent’s edition of Beauty Is a Wound, is already released. Published by Speaking Tiger, February 2016.

Tips Bahagia untuk Penulis

$
0
0

Saya punya cara untuk hidup lebih bahagia. Buka Goodreads, lihat buku-buku karya penulis hebat (sebut saja Orhan Pamuk, Mo Yan atau Herta Müller, yang kalibernya sekalian Nobel Kesusastraan), dan baca ulasan yang memberi buku mereka cuma satu bintang. My Name is Red disebut “membosankan”, “dibuat untuk menyenang-nyenangkan penulisnya, bukan pembacanya”, “saya kesulitan dengan kualitas rendah buku ini”, dan “apa yang disebut misteri pembunuhan itu sangat dangkal sebab kita tak benar-benar tahu siapa pembunuh dan korbannya”. Bagaimana dengan Red Sorghum? “Saya enggak lihat novel ini indah maupun menggugah”, “tak ada otensitas dalam usahanya menggambarkan kengerian perang”, “karakter-karakternya tak punya simpati terhadap kehidupan manusia”. Dan The Land of Green Plums? “Halusinasi pikiran sakit”, “Gaya puitisnya menjauhkanku dari karakter”, “kenapa sastra bikin kita mual?”, “plot dan karakternya jauh dari menyenangkan”. Bahkan One Hundred Years of Solitude aja ada yang nyebut (tentu dengan memberinya satu bintang saja) “cuma kumpulan anekdot” dan “gaya berceritanya datar”. Membahagiakan membaca ulasan-ulasan semacam itu, kan? Saya tak tahu siapa-siapa saja mereka yang memberi komentar-komentar tersebut, yang jelas saya bahagia membayangkan orang menjadikan kanon-kanon kesusastraan global tersebut sebagai barang tak berguna. Orang-orang ini mulai mempertanyakan, kenapa sih seleraku berbeda dengan ahli-ahli sastra ini? Apakah otakku bermasalah? Hahaha. Saya sendiri tak tahu jawabannya. Mungkin otak ahli sastra memang bermasalah. Mungkin otak si pembaca yang tumpul. Kadang-kadang saya sendiri bertanya-tanya, ya ampun, kayaknya novel semacam ini mungkin memang bukan seleranya. Kenapa dia maksa membaca? Terpengaruh ulasan yang hips di jurnal sastra? Terpengaruh penghargaan yang diperoleh penulisnya? Ujung-ujungnya geli melihat emosi yang meledak-ledak, barangkali karena kesal kenapa dunia memuja War and Peace sedangkan dia menganggap buku itu buruk minta ampun? Novel itu disebut “kering dan membosankan”, “berapa banyak pohon ditumbangkan untuk mencetak sampah ini?” dan “buku ini menghancurkan mitos populer bahwa jika buku itu tua dan dari Rusia, pasti bagus”. Pembaca-pembaca yang memberi satu bintang dan sedikit ngomel-ngomel ini barangkali merasa tertipu dengan reputasi buku-buku tersebut, dan siapa pun yang tertipu di depan mata, kita senang menertawakannya, dan tawa seringkali membawa kita kebahagiaan. Persis seperti acara-acara gags dan jebakan di televisi, yang menjebak dan menipu seseorang lewat kamera tersembunyi. Si korban tampak menderita, dan kita tertawa ngakak melihat penderitaannya. Hidup ini kalau cuma mencari bahagia sederhana, kan? Lihat saja penderitaan orang lain, dan kita setidaknya bisa senyum. Melihat penderitaan seorang pembaca menghadapi buku yang tidak disukainya saya rasa tidak mencederai siapa pun, juga tidak mempermalukan siapa pun. Kita bisa tertawa sendiri, dan pembaca itu juga menderita sendiri. Kita hanya mengintip penderitaannya. Baiklah. Saya ingin sedikit menambah dosis kebahagiaan saya. Apa yang dikatakan pembaca satu bintang untuk William Shakespeare, pujangga agung itu? Romeo and Juliet adalah “Cerita yang bodoh”, “kedua remaja ini baru kenal 3 hari, enggak perlu seheboh ini, lah”, dan “medioker seutuhnya”. Hahaha. Lebok tah! (Subtitle: makan tuh sastra!)

Beauty Is a Wound, Pushkin Press (UK)

$
0
0

700-biaw-uk2016

Here is Beauty Is a Wound cover for United Kingdom. Published by Pushkin Press, June 2016. A small introduction to this amazing publishing house, they publish some great contemporaries like Chigozie Obioma, Andrés Neuman and Ryu Murakami, as well as a heavy weight literary classic like Stefan Zweig.

“O”, Novel Keempat

$
0
0

o_first_print_ever

Selalu senang melihat apa yang saya tulis sudah berbentuk buku. O, novel keempat saya. Untuk yang pre-order, akan memperolehnya akhir bulan ini. Bukunya sendiri baru akan beredar (mudah-mudahan) bulan Maret.


Kisah Editor

$
0
0

The New Yorker menulis tentang New Directions, termasuk kisah di balik penerbitan Cantik Itu Luka (Beauty Is a Wound) di Amerika.

Ngobrol Sastra, IFI

$
0
0

ifi-lh

Yang berminat, sila datang buat ngobrol sastra bersama saya. Tempat: Institut Francais Indonesia (IFI), Jl. M.H. Thamrin 20, Jakarta (samping Sarinah). Waktu: 25 Februari 2016, pukul 15.00.

Umberto Eco (1932-2016)

$
0
0

Saya menulis obituari Umberto Eco (1932-2016), “Saya Takut Mati Kehilangan Rasa Humor”, dan diterbitkan di Jawa Pos, 23 Februari 2016. Tulisan tersebut bisa dibaca di salah satu tautan jaringan mereka.

The Vegetarian, Han Kang

$
0
0

Ketika Yeong-hye memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian, satu keluarga menjadi kacau-balau. Hubungannya dengan suaminya berantakan, hingga mereka bercerai. Hubungan dengan orangtuanya poranda, ditandai dengan kemarahan si ayah ketika mencoba menjejalkan sepotong daging ke mulutnya. Dan hubungannya dengan kakaknya, meskipun tetap baik, tak bisa dibilang tetap sama: kakak iparnya berpisah dengan kakaknya karena membuat film semi porno dengannya. Ya, semuanya karena ia memutuskan untuk menjadi vegetarian. Bagi sebagian orang, menjadi seorang vegetarian mungkin hal yang sepele. Kalaupun meninggalkan persoalan (seperti mencari restoran yang bebas daging, ribet ngurusin menu makanan), itu persoalan dirinya sendiri. Tapi di novel ini, The Vegetarian karya Han Kang, kita bisa melihat bahwa perubahan apa pun, apalagi mendadak dan nyaris tanpa asal-usul yang jelas, bisa mengacaukan banyak hal. Saya tak akrab dengan kesusastraan Korea, tapi tampaknya mereka tengah berusaha menggenjot kesusastraan mereka agar dikenal secara global. Belakangan memang sudah banyak novel-novel Korea hadir dalam terjemahan (Bahasa Inggris, misalnya). Tapi tentu saja kesusastraan tak semata-mata diterjemahkan dan diterbitkan, lalu dipromosikan. Jika urusannya cuma itu, kesusastraan negara mana pun asal ada uang dan kemauan pasti sudah merajalela. Kenyataannya, sebagian besar di antara buku-buku itu (lihat misalnya seri The Library of Korean Literature yang diterbitkan Dalkey Archive), masih kurang menarik perhatian. Nama-nama penulis Korea tetap sayup-sayup, apalagi jika dilihat dan didengar dari sebuah kota pelosok macam Jakarta. Saya tak tahu kenapa. Mungkin bias kurator lokalnya? Mungkin apa yang dianggap keren oleh kurator lokal, ternyata biasa saja oleh publik internasional? Dan lihat saja (ini yang menarik), meskipun begitu satu-dua nama kemudian mencuri perhatian, tapi malahan di luar upaya-upaya promosi “resmi” dengan embel-embel “kesusastraan Korea” (dengan ambisi-ambisi besarnya melalu “The Library of Korean Literature”). Han Kang, salah satunya. Ketika saya membaca novel ini, novel keduanya Human Act baru saja terbit (dan saya rasa, saya juga ingin membacanya). Menurut saya, The Vegetarian merupakan jenis novel yang ceritanya didorong oleh karakter. Karakter yang kuat. Seperti kita tahu, ada cerita-cerita yang bergulir oleh dorongan plot (seperti di banyak novel genre, seperti cerita detektif, cerita romansa, cerita silat atau horor), dan ada cerita yang bergulir oleh dorongan karakter yang kuat. Novel kesayangan saya, Lapar karya Knut Hamsun, atau banyak karya Dostoevsky, umumnya didorong oleh karakter yang kuat. Novel ini dibagi dalam tiga bagian, dan semuanya berputar di sosok Yeong-hye si vegetarian. Di luar dugaan, novel ini sebenarnya tak bicara banyak mengenai vegetarianisme (baik soal kesehatan, spiritual, ataupun ideologi lingkungan hidup). Setidaknya tidak menjadi pokok soal yang pertama. Meskipun begitu, seperti di novel-novelnya Kafka (dan novel ini memang memberi rasa Kafkaesque), novel ini bisa menyelam jauh lebih dalam dari itu, membuat vegetarianisme sebagai permukaannya. Membuat novel ini malah menjadi sejenis horor yang, menakutkan juga mengasyikan. Mungkin saatnya menengok Korea tak hanya melalui K-Pop, tapi juga K-Lit mereka?

Dua Undangan

$
0
0

Yang punya waktu luang dan mau kumpul ngobrol, ada dua undangan terbuka dari saya. Pertama, ngobrolin film Darah dan Doa (yang konon dianggap sebagai film pertama Indonesia), bersama saya dan Edwin. Tempat: Kinosaurus, belakang Aksara, Kemang. 9 Maret 2016 (hari libur, kan?), pukul 19.00 WIB. Kedua, Tumpengan O (bukuan konon, ini asli novel keempat saya), bersama Djenar Maesa Ayu dan Feby Indriani. Tempat: Toko Buku Gramedia, Mal Central Park, Jakarta. 13 Maret 2016 (hari libur juga), pukul 14.00 WIB.

Man Tiger, Inside Indonesia (Review)

$
0
0

“However, classifying Kurniawan as a ‘magical realist’ is fundamentally misleading.” A review of Man Tiger, by Eric Wilson, Inside Indonesia. “What most impressed me with Man Tiger, […], was the novel’s numerous points of contact with crime fiction, albeit in an under-developed manner.”

And here is a report from Jakarta Post about my new novel: ‘O’ A multilayered fable.

How I Came to Know Fish, Ota Pavel

$
0
0

Saya baper. Gara-gara baca How I Came to Know Fish karya Ota Pavel, serius saya baper. Buku ini sebenarnya memoar penulisnya. Ditulis dalam bentuk sketsa-sketsa ringkas 3-4 halaman (beberapa lebih panjang hingga belasan halaman), untuk membedakan memoar umumnya yang ditulis panjang sambung-menyambung, bahkan dari si penulis kecil hingga umur tertentu. Selain itu, memoar ini lebih banyak berhubungan dengan kisah hidup si penulis dengan ikan dan kegiatan memancing. Nah, itu yang bikin saya baper. Soalnya, Pavel menulis pengalaman masa kecilnya, dari awal bagaimana ia diajarkan untuk memancing, hingga akhirnya sering diajak si ayah (yang menganggap hal penting dalam hidup hanya bisnis dan memancing) untuk menangkap ikan. Penuh penggalan-penggalan kisah yang mengharukan (saat ia hendak hanyut terbawa arus sungai), hingga kelakuan konyol ayahnya, yang membeli kolam yang konon penuh ikan, tapi ketika di-bedah (ini istilah bahasa Sunda untuk kegiatan menguras kolam demi mengambil seluruh ikan), ternyata ikannya cuma seekor saja. Menurut Pavel, malam itu mereka dengan gemas memakan ikan itu sekeluarga, dan menganggapnya sebagai ikan paling mahal tak hanya se-Ceko, tapi se-Eropa Tengah! Saya jadi teringat ayah saya, kan, yang juga doyan ikan serta memancing. Waktu saya kecil, sering ada malam-malam di mana ayah saya pergi bersama teman-teman nelayannya melaut. Ia bukan nelayan, tapi kenal banyak nelayan dan sering pergi bersama mereka. Di pagi hari ia muncul dengan keranjang penuh ikan. Ikan laut hampir seperti makanan pokok di rumah kami, kadang-kadang sampai titik di mana saya merasa eneg. Tapi kami memang suka ikan, jadinya. Bahkan sampai sekarang, saya suka merasa aneh dengan segala macam ikan olahan, sebab sudah terlalu biasa makan ikan segar. Tak hanya melaut, di waktu-waktu tertentu (biasanya bulan puasa, ngabuburit), ayah dan beberapa temannya (dan saya sering diajak), juga gemar menjelajah berbagai sungai, muara, dan rawa-rawa untuk berburu ikan. Memperoleh betok liar dari rawa-rawa sering membuatnya jauh lebih bahagia daripada membeli ikan mas di pasar. Modalnya hanyalah pancing dan jaring kecil. Seperti umumnya pemburu ikan tradisional, ia hanya mencari ikan untuk kesenangan, sebanyak yang bisa dimakan keluarganya. Kalau sedikit dapat lebih (jarang, sebenarnya), paling dibagikan ke tetangga. Terntu saja di luar melaut dan berburu ikan ke sungai atau rawa, kami juga punya kolam ikan (seperti banyak orang Sunda umumnya). Adegan pembuka Lelaki Harimau dengan Kyai Jahro asyik memberi makan ikan di kolamnya, sebenarnya saya ambil modelnya dari kegiatan ayah saya kalau pagi atau sore hari. Aduh, jadinya saya malah ngomongin si ayah. Mudah-mudahan di dunia sana ia bertemu lebih banyak rawa-rawa dan sungai penuh ikan, dan bahagia dengan pancing atau jaring kecilnya. Kembali ke Ota Pavel saja. Tentu saja memoar ini bisa dilihat dari sisi seriusnya: gambaran kehidupan rakyat umumnya di Cekoslovakia sebelum invasi Nazi, dan bagaimana selama pendudukan keluarganya bisa bertahan hidup senormal mungkin. Tapi saya justru menikmati kesederhanaannya: ini kisah sehari-hari, yang seperti saya alami ketika membacanya, membawa kenangan kepada kisah sehari-hari yang juga pernah dialami. Tanpa pretensi untuk membuatnya dramatik, bahkan membuat tokohnya (si penulis) menjadi penting. Dan terutama, Pavel berhasil membuat hal yang demikian “biasa” ini, bahkan mungkin banal, menjadi sesuatu yang layak untuk dibagi dan diceritakan. Bisa membaca memoar semacam ini lebih banyak pasti mengasyikan, tapi kenyataan pahitnya, tak semua orang bisa seperti Ota Pavel, tentu saja.


Strategi Literer untuk Sang Liyan

$
0
0

Saya menulis esai untuk Jawa Pos edisi 13 Maret 2016 ini, “Hantu dan Strategi Literer untuk Sang Liyan”. Belajar dari kisah vampir di novel horor klasik macam Dracula hingga romansa Twilight untuk melihat bagaimana kita menghadapi sesuatu yang “bukan kita”. Apakah kesusastraan bisa menjadi strategi menghadapi intoleransi?

Selain itu ada wawancara saya di majalah Tempo edisi 14-20 Maret 2016, “Belum Ada yang Bisa Menggantikan Pram dan Chairil”. Itu sejenis kegelisahan saya, selama 70 tahun kesusastraan nasional Indonesia, novelis dan penyair terbesar kita bagi saya tetaplah mereka.

Peluncuran “O”

$
0
0

odeelix

sastragpu2

sastragpu

odeelix2

gramedia

Novel keempat saya, O akhirnya resmi beredar dan diluncurkan, di Toko Buku Gramedia, Mal Central Park, 13 Maret 2016. Terima kasih untuk Djenar Maesa Ayu dan Febi Indirani. Foto diambil oleh @odeelix, @gramedia dan @sastragpu.

Beauty Is a Wound, Speaking Tiger

$
0
0

beauty_india

Just received my own copy of Beauty Is a Wound Indian’s edition. Fresh from Speaking Tiger.

In Suspicion of Beauty

$
0
0

“If Man Tiger is a path snaking into the wilderness, Beauty is a Wound is a repeated diving and resurfacing.” A new review by Tiffany Tsao, “In Suspicion of Beauty: On Eka Kurniawan”, published by Sydney Review of Books. It’s including a critical reading on translations.

Expired Tradition of Political Critique

$
0
0

“Eka is inserting himself into an expired tradition of political critique,” concluded Saskia Schäfer about Beauty Is a Wound in The Times Literary Supplement, “A Strategy for Culture”, and about Man Tiger: “an overdose of murderous slapstick”. Her review is not an expired tradition of literary criticism, of course.

Viewing all 259 articles
Browse latest View live