Quantcast
Channel: Eka Kurniawan – Eka Kurniawan
Viewing all 259 articles
Browse latest View live

Raubkatze im Sarong

$
0
0

“Der indonesische Autor Eka Kurniawan greift im Roman «Tigermann» auf alten Volksglauben zurück. Er deckt nicht nur ein psychologisches Drama, sondern auch die Schichten der heimatlichen Kultur auf.” For those who read German, here is a review of Tigermann, “Raubkatze im Sarong” by Katharina Borchardt, Neue Züricher Zeitung.


The Cowboy Bible Menikam Polisi Kesusastraan

$
0
0

Cerita-cerita di kumpulan The Cowboy Bible karya Carlos Velasquez tidak seperti cerita umumnya. Penulisnya seperti ngoceh saja, ngomong sesuka hati. Pertama ia seperti bicara tentang dirinya, Si Cowboy Bible, petarung di panggung wrestling yang terkenal suka membawa Bible dan mengutip satu dua ayat dari sana (dan tentu saja dengan kostum dan topeng yang menggelikan). Tentang kemenangan-kemenangannya, tentang para petarung lain yang terus-menerus diejeknya, tentang kota kecil di Meksiko utara tempat semua ini terjadi. Dengan bahasa yang semau gue dan penuh istilah yang diciptakannya sendiri. Di cerita berikutnya, kita akan bertemu Si Cowboy Bible lagi, tapi kali ini tidak di arena wrestling. Masih tetap sebuah pertarungan: tapi sekarang adu jago minum di satu bar legendaris di kota itu. Tokoh kita tentu saja pemenangnya, memenangi kejuaraan itu berkali-kali, hingga ia terperangkap di tengah-tengah pertarungan dua bos mafia narkotik yang ingin menguasai jalur distribusi di kota tersebut. Juga terjebak di tengah hasrat sang isteri yang jengkel dengan kebiasaan minumnya, tapi kemudian melihat celah untuk memperoleh uang gampang melalui kebiasaan minum lakinya. Perangkap disiapkan untuk menjatuhkannya, demi keuntungan orang lain. Saya selalu suka menjelajah dan menemukan buku-buku yang tak terlalu disorot lampu media, istilah kerennya obscure. Siapa Carlos Velasquez? Kecuali bahwa ia orang Meksiko kelahiran 1978 (info itu ada di bukunya), saya tak tahu apa-apa. Melihat fotonya, awalnya saya kira penulis terkemuka Indonesia, Arman Dhani. Terrnyata hanya mirip lekuk tubuhnya saja. Dan bukunya sendiri bisa dibilang tak lalu-lalang di banyak pemberitaan, bahkan di antara para pengulas buku di blog-blog yang bertebaran di seantero permukaan bumi. Penerbitnya juga tidak moncereng, dan boleh dibilang ini buku pertama yang saya baca dari penerbit tersebut (Restless Books). Maafkan saya jika suka mendramatisir kegemaran saya untuk membaca buku-buku dan penulis obscure macam begini (meskipun boleh jadi di masa depan, mereka kemudian naik ke permukaan, siapa tahu? Dunia kadang aneh, kok. Saya rasa mungkin di Meksiko sendiri doi sangat terkenal). Bagi saya, membaca dan menemukan buku dan penulis semacam ini menjadi 1) rekreasi yang murah menemukan dunia-dunia baru, cara pandang ajaib, cara bercerita yang gokil, sekaligus 2) mengolok-olok secara diam-diam kesusastraan arus utama yang gemerlap, dengan bahasa yang aduhai, plot yang utuh, karakter yang bulat, psikologi yang mendalam, yang … sebut saja semua yang sering digila-gilai para pengamat dan pengulas kesusastraan. Seperti hidup, menjadi pembaca sastra (saya kira juga berlaku sebagai penulis), harus selalu berlaku layaknya pembunuh berantai: selalu lari dari satu titik ke titik lain, hanya meninggalkan jejak dengan tujuan pengibuli polisi (jika ada polisi moral, polisi fashion, pasti ada lah polisi kesusastraan). Buku ini, setidaknya menurut saya, memberi saya gairah untuk mengikuti jejak-jejak pembunuh berantai dan siapa tahu menggiring saya menjadi pembunuh berantai lihai. Menipu polisi, apalagi menipu Sherlock Holmes kesusastraan merupakan cita-cita saya yang paling luhur. Baiklah, saya mau jujur. Perkenalan saya dengan buku ini gara-gara pertemuan dengan seorang laki-laki perlente tapi bau, yang semua orang mengenalnya sebagai Si Polisi Kesusastraan. Ia melemparkan buku ini di atas meja dan meracau, “Masa sastra kayak begini? Lihat cara dia nulis! Apa maksudnya generasi Tetra Pak? Anak ayam goreng?” Ia bermaksud mengadili si penulis buku in absentia, tapi untunglah Si Cowboy Bible muncul di pintu dan menikamnya dengan belati tanpa ampun. Jangan kuatir, polisi mati satu, bangkit seribu. Itu sudah biasa. Polisi apa pun. Saya pulang, tentu setelah mengambil buku itu, dan akhirnya punya kesempatan membacanya.

O, Bandung

Perpustakaan Terbesar Se-Asia Tenggara?

$
0
0

“DPR Ingin Bangun Perpustakaan Terbesar Se-Asia Tenggara”. Menurut berita tersebut, rencana itu muncul setelah kunjungan sejumlah intelektual yang terdiri dari Rizal Mallarangeng, Ignas Kleden, Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Nirwan Arsuka ke DPR.

Secara pribadi, saya menolak gagasan ini. Apa fungsinya? Untuk pamer? Kita tak memerlukan perpustakaan besar. Pertama dan terutama, kita memerlukan perpustakaan umum yang tersebar di seluruh pelosok negeri, setidaknya setiap kecamatan, dan koleksi yang layak untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah.

Malaysia

$
0
0

“Even within this region, an awareness of each other’s literary works is to be encouraged. It is just unfortunate that Malaysians should need to be told of an Indonesian author by an American publisher.” Sebuah ulasan dari satu media Malaysia tentang Beauty Is a Wound.

Saya harap situasinya tak terus begitu. Saya membaca beberapa buku dari penulis Malaysia (memang belum banyak). Dan dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya empat buku saya akan beredar di Malaysia dalam bahasa aslinya, diterbitkan oleh Dubooks.

Membayangkan Enny Arrow Sebagai Tonggak Kesusastraan Indonesia

$
0
0

Saya sedang membaca The Strangeness in My Mind di sebuah kedai kopi, ketika seseorang datang menghampiri. “Wah, kamu membaca Orhan Pamuk!” katanya. Saya menoleh. Mungkin dia orang Turki, atau seseorang yang merasa tahu banyak tentang Turki. Ia kemudian bertanya, apa pendapat saya tentang novel(-novel) Orhan Pamuk. Saya pun ngoceh sebagai pembaca, komentar apa adanya mengenai kesan-kesan saya. Beberapa pendapat itu sejujurnya saya comot dari pendapat orang lain juga, mungkin di ulasan surat kabar, atau di halaman belakang bukunya. Yang penting bisa ngoceh. Tiba-tiba dia sedikit kesal dan berkata, “Kamu enggak bisa begitu saja menganggap Pamuk sebagai wujud kesusastraan Turki. Kesusastraan Turki jauh lebih kaya dari itu. Kamu harus baca penulis-penulis terdahulu Turki, yang sangat keren, beberapa lebih keren dari dia. Juga harus baca penulis-penulis muda mereka. Pamuk hanyalah sebutir debu dari kesusastraan Tur …” Sampai di sini saya memotong dengan menggebrak meja. Dia hampir membuka mulut lagi, tapi saya bersiap menyumpal mulutnya dengan gulungan tisu. Dia akhirnya mingkem. “Siapa yang lagi belajar kesusastraan Turki?” tanya saya. “Dengar, Bung. Saya enggak peduli kesusastraan Turki seperti yang kamu katakan. Saya saat ini hanya membaca Pamuk. Mengerti?” Hal yang sama juga terjadi dengan penulis lain dan kesusastraan nasional yang lain. Sebagai orang yang tak pernah ke Norwegia, bayangan saya tentang negara (dan kesusastraannya) dibentuk oleh bacaan saya atas buku-buku Knut Hamsun. Bayangan saya tentang kesusastraan Argentina (yang saya puja tim sepakbola nasionalnya), juga dibentuk oleh bacaan saya atas karya-karya Borges, Cortazar dan belakangan mungkin oleh Ernesto Sábato. Apakah kesusastraan Argentina cukup dipahami hanya dengan membaca tiga penulis itu? Orang tolol di neraka juga tahu itu tidak mungkin. Mereka hanya tiga dari (barangkali) ribuan penulis yang membentuk kesusastraan Argentina. Tapi memangnya saya membaca karya-karya mereka dalam rangka memahami kesusastraan Argentina secara utuh? Ya enggak. Icip-icip sedikit, mungkin iya. Tapi utamanya ya, tetap untuk membaca mereka, sebagai diri mereka sendiri. Apakah Mo Yan mewakili kesusastraan Cina secara umum? Tidak. Tapi jangan salahkan pembaca asing yang membaca karyanya, jika ia membangun imajinasi sendiri mengenai kesusastraan dan negeri Cina, meskipun hanya membaca Mo Yan. Kadang-kadang saya tersesat ke artikel-artikel di internet mengenai ambisi-ambisi untuk memperkenalkan kesusastraan nasional negeri tertentu (biasanya negeri-negeri yang kesusastraannya memang tak terlalu dikenal) ke masyarakat dunia. Kadang-kadang tersirat ambisi konyol: mereka berharap dunia memahami kesusastraan nasional seperti mereka memahami kesusastraan nasional mereka sendiri. Lengkap dengan sejarah dan kanon-kanonnya. Ingin dunia memahami kesusastraan Korea seperti orang Korea memahami kesusastraan Korea, misalnya. Persis seperti orang di kedai kopi, yang ngomel-ngomel karena saya tak paham kesusastraan Turki, seperti bagaimana dia memahaminya. Ngomel dan jengkel karena saya cuma (merasa) kenal Pamuk (dan belakangan Ahmet Hamdi Tanpinar), sementara ada ribuan penulis di Turki. “Orang macam begini enggak selow,” pikir saya. Tapi saya juga bisa berempati, kok. Bisa memahami perasaannya. Bayangkan jika kita menerjemahkan karya-karya Enny Arrow. Bayangkan jika novela-novelanya yang tipis itu, terbit di The Paris Review atau Granta. Bayangkan jika orang-orang di luar negeri suatu saat membaca terjemahan karya-karya Enny Arrow itu, dan berpikir tentang Indonesia dan kesusastraannya melalui karya-karya itu. Pasti banyak orang Indonesia yang jengkel, sambil siap sedia ceramah tentang sejarah dan peta kesusastraan Indonesia. Dari Raja Ali Haji hingga penulis paling kekinian. Mereka juga bersiap membuat telaah-telaah kritis bahwa karya-karya itu tak hanya mesum, tapi juga tak ada nilai sastranya. Nulisnya aja ngawur. Karakternya datar. Tak ada alur cerita. Bla bla bla. Tapi sebagian besar dari pembaca asing itu mungkin tak peduli. Mereka kadung senang dan hanya mau baca Enny Arrow. Titik. Saya sih enggak bakalan jengkel. Saya malah rada berharap itu bisa terjadi. Seru. Sudah jelas saya sendiri enggak ada apa-apanya dibandingkan penulis satu ini. Pasti menyenangkan membayangkan orang asing membaca Enny Arrow lalu mereka membayangkan sastra Indonesia seperti novel-novel itu. Barangkali ada pembaca yang lebih gila: membayangkan Enny Arrow sebagai tonggak kesusastraan Indonesia. Mereka akan bilang: jika tujuan novel porno adalah untuk bikin pembaca terangsang, novel-novelnya berhasil secara sempurna. Mahakarya tak terbantah. Sastra kelas satu yang dihasilkan anak bangsamu! Penulis terbaik Indonesia dalam tujuh dekade! Dan seperti orang di kedai kopi, orang Indonesia jengkel. Presiden, menteri, kritikus, guru sastra, penulis, pemandu sorak kesusastraan, semua jengkel. Jengkel dan enggak selow. Beberapa jengkel mungkin karena pernah bikin novel porno tapi gagal bikin orang terangsang. Sebagian mewek di belakang meja. Mewek dalam arti sebenarnya, sebab memang banyak yang cengeng. Meraung-raung meminta tulung dan menghimpun kumpulan. Beberapa mulai membuat teori konspirasi tentang usaha-usaha asing menghancurkan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Hahaha. Hail Enny Arrow!

Obrolan dengan Hasan

$
0
0

Semalam saya berjumpa Hasan Aspahani, ngobrol. Dan tautan “O Lelaki Dendam Itu Cantik” merupakan catatannya atas obrolan itu. Mungkin karena berdasarkan ingatan saja, beberapa bagian terbolak-balik (yang ditulis tangan itu Lelaki Harimau, bukan Cantik Itu Luka, misalnya). Tapi tak apa, nikmati saja obrolan kami itu :-)

Menebus Dosa, Aman Datuk Madjoindo

$
0
0

Novel ini karya Aman Datuk Madjoindo berjudul Menebus Dosa (jika tak salah, terbit pertama kali 1932). Madjoindo terutama dikenal melalui novel Si Doel Anak Betawi (dalam versi cetak ulang belakangan, kata Betawi berganti menjadi Jakarta). Pembukaannya rada aneh: dibuka dengan ceramah mengenai pentingnya pakansi, terutama untuk warga kota besar di Betawi (sebesar apa sih, waktu itu?) setidaknya sebulan dalam setahun. Nah, novel diawali dengan perjalanan si narator untuk liburan ke sebuah desa di lereng Pangrango, untuk menemui seorang teman. Tapi di desa itu, ia malah bertemu dengan seorang bocah yang tinggal dengan neneknya yang menarik perhatian dia. Berikutnya, sampai akhir, merupakan kisah mengenai sejarah si nenek dan bocah itu. Bagi pembaca modern macam saya, tentu gemas dengan bab pertama yang menceritakan perjalanan narator tersebut, yang bisa dibuang dan cerita langsung diawali di bab kedua. Percayalah, kisah perjalanan narator itu tak lagi disinggung kok sampai akhir novel (jika disinggung kembali, barangkali novel ini akan menjadi karya pascamodern). Meskipun begitu, saya akhirnya bisa memaklumi mengingat latar belakang kapan novel tersebut ditulis dan terbit, terutama karena saya terhibur dengan kisah si nenek dan cucunya setelah itu. Kita bisa saja menganggap pembukaan semacam itu sebagai wujud belum canggihnya teknik menulis di masa-masa awal kesusastraan modern kita (jangan berkecil hati: kita bisa gemas ingin memangkas atau mengedit novel Dostoyevsky atau Tolstoy sekalipun, kok). Tapi saya ingin melihatnya dengan sikap positif: pembukaan itu diperlukan untuk membuat yakin pembaca bahwa kisah di novel ini “benar”. Si narator (yang dipersonifikasikan sebagai si “aku” penulis) sedang berkunjung, dan ia mendengar cerita tentang nenek dan cucunya, yang kemudian dilaporkan kembali ke pembaca. Semacam cara untuk berkata, “Saya enggak ngarang lho ya, ini cerita yang betul kejadian, saya cuma melaporkan.” Seperti kita tahu, kita menulis dan berusaha meyakinkan pembaca bahwa kisah itu benar. Bahkan dalam kisah paling fantastis dan absurd sekalipun, penting untuk meyakinkan pembaca bahwa itu benar terjadi, setidaknya secara fiktif. Pembukaan novel ini bisa dilihat sebagai upaya sederhana melakukan itu, meskipun dengan berkembangnya kesusastraan, teknik “meyakinkan pembaca” tentu telah berkembang sedemikian rupa sehingga sekarang sangat jarang (meskipun ada) penulis membocorkan narator di dalam badan novel. Kembali ke novelnya, seperti saya bilang di muka, saya menikmatinya. Kisah sederhana yang tak perlu saya bocorkan di sini, tapi jika menemukan bukunya di perpustakaan atau toko buku loak, bacalah. Selalu menyenangkan membaca karya-karya lama, dalam arti yang sebenarnya, melemparkan kita ke waktu yang berbeda. Tak hanya melalui dunia rekaannya, tapi juga melalui ejaan (yang masih lama), kertas kusamnya (hati-hati untuk yang alergi), dan sesekali menemukan kejutan dari kata-kata yang sudah tak lagi dipergunakan tapi kita tahu ada dan mengerti artinya. Dibandingkan Si Doel, mungkin tak lagi banyak yang ingat novel ini. Tapi seperti makhluk hidup, ia selalu punya cara untuk bertahan dan menghampiri pembaca baru. Yang beruntung bukanlah novel itu, tapi si pembaca yang bersua dengannya.


Man Tiger Interview

$
0
0

I and Labodalih Sembiring responded to some questions about Man Tiger, English translation of Lelaki Harimau, here.

Surabaya, Malang, Yogyakarta

$
0
0

eflyer_Yogya

jawa-pos

Surabaya: Graha Pena (Jawa Pos), 20 April 2016, 13.00 WIB.
Malang: Universitas Negeri Malang, 21 April 2016 (Kuliah, Terbatas).
Yogyakarta: Radio Buku, 27 April 2016, 16.00 WIB.
Yogyakarta: Toko Buku Gramedia (Sudirman), 28 April 2016, 16.00 WIB.

The Missing Year of Juan Salvatierra, Pedro Mairal

$
0
0

“The page is the only place in the universe God left blank for me.” Itu kutipan dari tengah novel The Missing Year of Juan Salvatierra karya Pedro Mairal. Ditulis dengan gaya yang dingin, bahkan di bagian-bagian yang humoris naratornya tetap dingin, novel ini seperti disiratkan dari judulnya, bercerita tentang tahun yang hilang. Lebih jauh lagi, tentang waktu-waktu yang hilang, yang barangkali minta ditemukan atau sebaliknya: dilupakan. Singkatnya: dua anak memperoleh warisan gulungan-gulungan kanvas lukisan ayah mereka yang baru saja meninggal. Tiap hari si ayah melukis, kadang semeter, paling banyak lima meter. Dan lukisan itu sambung-menyambung, tak ada garis pemisah antara satu dan lainnya. Bahkan dari gulungan satu ke gulungan lain, jika dihubungkan, juga tersambung. Membaca lukisan itu seperti membaca catatan harian si pelukis, Juan Salvatierra. Masalahnya, ada satu gulungan yang hilang. Ada tahun yang hilang, dan salah satu anak penasaran. Selanjutnya, seperti kisah detektif, merupakan perburuan atas gulungan yang hilang tersebut. Dibumbui usaha mereka untuk memperoleh dana agar bisa menyelamatkan lukisan-lukisan itu, dari pemerintah maupun museum swasta. Dibumbui juga oleh tekanan pengusaha toko swalayan yang ingin membeli tanah tempat gudang penyimpanan lukisan tersebut. Ada hal-hal yang tiba-tiba terpikirkan oleh saya seusai membaca novel ini (yang sebagian besar saya baca sambil berdiri menunggu antrian masuk gedung konser). Pertama dan terutama, membaca novel ini tiba-tiba pikiran saya melanglang enggak karuan ke kuliah kosmologi mengenai ruang dan waktu. Saya pernah merasakan hal yang sama ketika membaca cerpen-cerpen Jorge Luis Borges, dan tak mengejutkan jika penulis ini juga berasal dari Argentina. Benarkah ada waktu yang benar-benar hilang? Tentu saja tidak. Yang ada hanyalah momen-momen yang dilupakan, sengaja atau tidak. Momen dan waktu tempat momen itu bercokol tetap saja ada di sana. Persis seperti setahun dalam hidup Juan Salvatierra yang hilang dari kanvasnya. Hidupnya tetap ada, hanya kanvasnya yang hilang. Apakah benar waktu mengalir seperti air, sebagaimana digambarkan dalam gulungan-gulungan kanvas berisi “catatan harian” si pelukis? Konon, waktu sebenarnya tidak mengalir. Waktu persis seperti sebuah novel. Cerita di novel itu sudah ditulis lengkap, dari kata pertama hingga kata terakhir. Ada secara bersamaan. Peristiwa satu dan peristiwa lain terhubung oleh sebab-akibat, bukan oleh aliran waktu. Hanya pembaca yang membacanya secara kronologis (berurutan maupun acak-acakan), dan kesadaran akan waktu muncul di sana. Novel ini persis menggambarkan hal ini: hidup sang pelukis, jika disederhanakan dalam gulungan-gulungan kanvas lukisannya, ya seluruh gulungan itu secara keseluruhan. Jika dibakar, semuanya menyatu menjadi abu. Dan ini yang kemudian penting: peristiwa yang menghuni ruang dan waktu, pada akhirnya apa yang kita pikirkan atau ingat tentang peristiwa itu, dan bukan soal peristiwa itu sendiri. Si pelukis menafsir pengalaman hidup sehari-harinya dalam bentuk lukisan, dan itulah yang tertinggal. Yang bertahun-tahun kemudian dilihat anaknya, yang kemudian menafsir ulang mengenai apa-apa yang terjadi di masa-masa yang lewat. Yang diketahuinya hanyalah rekaan atas lukisan itu dan apa-apa yang ia ingat di masa kecil/remajanya. Bukankah sejarah juga seperti itu? Hanya setumpuk tafsir para ahli atas batu-batu bertulis, catatan perjalanan, lukisan, dan mungkin fosil? Kedua, novel ini pada akhirnya menyindir kita semua akan tragedi ruang dan waktu: jika kita berusaha mencari dan menemukan waktu atau peristiwa yang hilang, jangan-jangan kita malah memperoleh sepenggal peristiwa dan waktu itu, tapi pada saat yang sama, kehilangan apa-apa yang sudah dimiliki? Mengingat apa yang dilupakan untuk melupakan apa yang selama ini diingat? Ketiga, seperti banyak hal lainnya, ini novel serius yang sebaiknya dibaca dengan santai dan kalau bisa tidak serius: pada akhirnya pikiran kita mungkin terbakar dan apa yang kita baca hangus menjadi debu.

pedro_marial_gg

O “Tarif Bawah”

$
0
0

O_bajakan

Ya ampun pembajak, bahkan motong bukunya sembarangan, dan sisa scan masih keliatan. Mbok nunggu sampe terjual sejuta kopi gitu lho, mben penulise ngerasani sugih sek *sambil ngayal beli truk*.

Belilah yang aseli, biar pengarang hepi.

My Books Are My Love Letters

Hanya Ingin Jadi Penulis

Hidup Lo Drama Banget, Sih?

$
0
0

Raymon Carver mungkin memang sadar bahwa sebagian besar pembaca suka dengan drama. Drama dalam makna seperti kita sering dengar seseorang berkata kepada temannya, “Hidup lo drama banget, sih?” Dan brengseknya, melalui cerpen-cerpennya, dia sok berpura-pura mau memberi drama itu, memberi pembacanya rasa deg-degan yang membubung (persis seperti adegan di “drama adu penalti”), sebelum dengan kejam tidak memberi kita semua itu. Pemberi harapan palsu, kata anak gaul. Enggak ngerti apa yang sedang saya coba sampaikan? Jangan kuatir. Ibu saya yang memelihara saya sejak kecil mungkin juga enggak ngerti, tapi saya akan coba menjelajah ke cerpen-cerpennya di kumpulan yang paling heboh, What We Talk About When We Talk About Love, dan mudah-mudahan bisa mengatakan apa yang ingin saya katakan. Setidaknya, persis seperti semua (ya, semua!) cerpen-cerpen Carver, kalaupun tidak mengatakan apa yang tidak saya katakan, apa yang tidak saya katakan bisa dikatakan tanpa perlu mengatakannya. Menceritakan sesuatu tanpa menceritakannya. Bahkan ia melakukannya dengan sejenis adegan klise penuh ejekan, misalnya dalam cerpen ringkas “Popular Mechanics” (taik, ia bahkan mamakai judul “popular” dan “mechanics”). Di cerpen ini, ia seperti menyalin-rekat dari adegan yang sangat umum bisa kita jumpai di banyak cerita: adegan seorang lelaki yang hendak pergi dan seorang perempuan yang berteriak-teriak, “Pergi saja kamu! Pergi!” (tapi kayaknya dengan nada sedih). Selesai si lelaki mengepak kopernya, mereka kemudian berebut … bayi. “Aku mau bayinya,” kata si lelaki. “Tidak,” kata si perempuan. Yang satu mempertahankan si bayi, yang lain mencoba merebut. Si bayi nangis. Selesai. Kita tak tahu apa-apa sebelum dan sesudah adegan tersebut, tapi kita tahu, ada drama di sana. Kita menginginkan drama itu, dan Carver taik anjing tak memberikannya. Biar rusuh sendiri di kepala kita. Di cerpen pembuka, “Why Don’t You Dance?” kita bertemu seorang lelaki yang mengeluarkan semua benda miliknya ke pekarangan rumah. Sepasang anak muda muncul dan tertarik dengan barang-barang itu. Mereka ngobrol, tawar-menawar, dan sepakat menjual dan membeli beberapa barang. Hingga akhirnya si lelaki memutar piringan hitam dan bertanya ke si gadis, “Kenapa tidak berdansa?” Mereka berdansa, lalu selesai dan berpisah. Jujur saja, saya mengharapkan ada drama di antara si lelaki peruhbaya itu dengan si gadis dan si pemuda. Saya suka drama. Tapi drama tak ada di sana. Dramanya ada di balik semua peritiwa jual-beli dan tawaran dansa tersebut. Jika saya harus membayangkan, membandingkan kisah-kisah ini dengan (katakanlah) memancing, Carver hanya menceritakan senar pancing yang bergoyang-goyang di permukaan air. Ia tak menceritakan siapa yang memancing. Juga tak menceritakan ikan macam apa yang terjebak mata kail. Tapi pemancing dan ikan itu jelas ada. Atau jika membandingkannya dengan percintaan: kita hanya disuguhi lenguh dan barangkali derak tempat tidur. Kita tak tahu siapa yang bergumul di sana. Juga tak tahu barangkali ada yang sesenggukan di luar jendela, menangisi percintaan. Bangsatnya, meskipun drama sesungguhnya tersembunyi di balik peristiwa, yang bajingan dari Carver adalah, di peristiwa yang disampaikannya kita seperti dipancing kepada simulasi drama. Seolah-olah akan ada drama. Jika di cerpen pertama saya gemas dengan “mungkinkah akan ada sesuatu antara si lelaki paruhbaya, si gadis dan si pemuda”, di cerpen-cerpen lain kita akan menghadapi situasi serupa. Di cerpen “I Could See the Smallest Things”, seorang perempuan mendengar bunyi gerbang dibuka di tengah malam. Sementara suaminya tidur ngorok, ia turun ke halaman. Bertemu dengan lelaki, yang tetangganya. Langsung kan, ngayal, ada sesuatu nih antara cewek dan si tetangga. Carver senang menjebak perasaan saya ke arah seperti itu, dan dia selalu berhasil menjebak. Bahkan meskipun saya tahu dia bakal menipu saya, tetap dari cerpen satu ke cerpen lain saya membiarkan perasaan saya ditipu. Barangkali karena saya suka drama. Dan percaya hidup tanpa drama memang garing dan tak layak diceritakan?


“Seperti Dendam …” Will be Adapted into a Feature Film

$
0
0

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Love and Vengeance) film rights have been acquired by Jakarta-based company Palari Films. The film will be produced by Muhammad Zaidy and Meiske Taurisia; and Eka Kurniawan has been attached as co-scripwriter together with filmmaker Edwin (director and writer of Indonesian film Postcards from the Zoo, which was in competition at the Berlin International Film Festival 2012). Read more here.

“Caronang”, Lontar #6

$
0
0

Lontar #6, The Journal of Southeast Asian Speculative Fiction, is out now. This edition is including my short story, “Caronang”, translated into English by Tiffany Tsao. The story originally published in Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (2005).

Aib dan Martabat, Dag Solstad

$
0
0

Hal paling absurd dalam hidup saya adalah ketika didatangi seorang ibu dan “mengkritik” saya dengan nada pedas dan kata-kata: “Sebagai orang Indonesia, kenapa mas Eka nulis novel dalam bahasa Inggris, enggak dalam bahasa Indonesia saja?” Saya hampir mati berdiri mendengarnya. Dunia memang kejam. Ketidakpedulian itu kunci bertahan hidup, Kawan. Mari membaca penulis Norwegia yang untungnya “menulis” dalam bahasa Indonesia saja, dan semoga dia juga dimaki-maki orang se-Norwegia dengan kata-kata, “Kenapa tidak menulis dalam bahasa ibumu, yang sudah membesarkan orang dari Ibsen hingga Hamsun?” Ya, semoga ada yang memaki Dag Solstad, si penulis Aib dan Martabat seperti itu. Biar saja dia mati berdiri. Dan ketika saya membaca halaman-halaman awal novel itu, tiba-tiba terbersit deretan pertanyaan ini: Apa pentingnya ngajarin sastra untuk anak sekolah kelas terakhir (juga apa pentingnya ngajarin sastra kepada orang tua yang tak peduli)? Mau membuat mereka jadi ahli sastra yang sanggup menganalisis dengan brilian drama Itik Liar? Itu sama saja dengan menghina Henrik Ibsen! Lo pikir sang penulis susah-payah bikin karya besar semacam itu untuk dengan mudah dipahami dan dipecahkan anak SMA? (Sebagian besar pertanyaan itu sebenarnya diajukan si tokoh di novel). Saya senang dengan tokoh di novel ini, seorang guru sastra Norwegia bernama Elias Rukla. Dia hidup dalam paradoksnya sendiri. Di satu sisi, sebagai guru sastra, ia memuja intelektualitasnya. Ia melihat kesusastraan sebagai salah satu bentuk pencapaian peradaban manusia, dan hatinya bergetar hanya karena mendengar seorang guru matematika (Matematika, Sobat!) satu hari berkata, “Aku merasa agak seperti Hans Castorp hari ini.” Bayangkan, seorang guru matematika menyebut nama Hans Castorp, yang bahkan orang-orang yang sok mengaku mencintai sastra atau bahkan mengakui sebagai sastrawan pun belum tentu mengetahui siapa Hans Castrop. Itu hanya memberi satu penjelasan: orang ini pernah membaca The Magic Mountain karya Thomas Mann. Hanya orang yang tabah dan punya banyak waktu bisa melahap novel itu, dan si guru matematika mungkin melakukannya. Tapi di sisi lain, di luar antusiasmenya terhadap keluhuran peradaban yang diciptakan sastra, Elias juga merasakan kesia-siaannya. Lihat anak-anak itu: membaca drama Ibsen berulang-ulang, yang ada hanyalah tatapan penuh kebencian kepada gurunya, rasa bosan yang tak terperi. Dan jika penulis mati? Percayalah tak akan menjadi tajuk utama di halaman depan koran! Sastra itu kesia-siaan, seperti bagaimana ia menyia-nyiakan hidupnya yang puluhan tahun mengajarkan sastra dan sejarahnya kepada anak-anak SMA. Anak-anak itu dengan penuh suka cinta akan berhamburan begitu bel istirahat berbunyi. Benar, bukan? Tidakkah kita gelisah melihat bagaimana hasil budaya dan peradaban umat manusia (termasuk Itik Liar Ibsen atau apa pun) terus dielap-elap sampai mengilap, tapi pada saat yang sama mungkin tak memberi arti penting buat hidup hari ini. Tak usahlah bicara karya sastra semacam itu. Dengan agak mengolok-olok, ditampilkan juga sosok Johan Corneliussen, seorang filsuf dan marxis cemerlang. Tafsirnya atas filsafat Immanuel Kant digadang-gadang bakal menggemparkan Eropa. Tidakkah ini menggelisahkan, bahwa marxisme dari tahun ke tahun, dari dekade ke dekade, terus dielap-elap, dikutip, dibedah, dianalisis, digunting, dibongkar-pasang, padahal seperti kata Marx: yang penting mengubahnya (dunia)! Johan akhirnya takluk oleh mimpi-mimpinya, pergi meninggalkan anak dan istrinya, dan secara sarkasme berkata untuk “perjalanan dinas kapitalisme”. Untuk Elias, kesia-siaan ini menjadi sempurna: ia memiliki seorang istri yang cantik jelita dan sangat dicintai, tapi tak pernah sekalipun berkata cinta kepadanya. Saya rasa tragedi hidupnya merupakan metafora paling jitu untuk segala sampah peradaban ini. Semua karya tersebut barangkali diciptakan karena rasa cinta yang mendalam, entah untuk apa pun, yang sialnya merasa tak perlu membalas. Mungkin untuk hal ini kita juga bisa tak peduli. Kita tetap mengerjakan apa yang kita cintai. Sebab sekali lagi, ketidakpedulian itu kunci untuk bertahan hidup.

NB: Aib dan Martabat diterjemahkan oleh Irwan Syahrir, diterbitkan oleh Marjin Kiri.

Tiga Buku

$
0
0

cetakanbaru_mei2016

Baru datang dari Gramedia Pustaka Utama dan Bentang Pustaka. Buku-buku ini sudah tersedia kembali di toko buku: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (cet. 3), Corat-coret di Toilet (cet. 2/sampul baru), dan Lelaki Harimau (cet. 5).

Makassar International Writers Festival 2016

$
0
0

makassar

Mari berjumpa di Makassar International Writers Festival. Saya akan ada di sana tanggal 20 dan 21 Mei 2016.

Viewing all 259 articles
Browse latest View live