Quantcast
Channel: Eka Kurniawan – Eka Kurniawan
Viewing all 259 articles
Browse latest View live

Gerilya Kota

$
0
0

13247710_10209719686818055_3387223266413939847_o

Catatan: Terima kasih kepada Ronny Agustinus, yang menemukan cerpen saya yang “hilang”. Judul cerpen ini “Gerilya Kota”, saya tulis November 1999, dan diterbitkan di bulan yang sama oleh Terompet Rakyat milik Taring Padi. Dengan perbaikan seperlunya (typo, tanda baca, kalimat enggak bunyi), saya mengetiknya ulang di bawah ini.

PS. Sebelum lupa, pada pertengahan 2013 Agus Noor mengirim saya surel berisi cerpen dia berjudul “Matinya Seorang Demonstran”. Pengantar surel antara lain berbunyi: Ini cerpen yang aku tulis berdasarkan ingatan pada cerpenmu “Gerilyawan Kota” (dia sedikit salah menyebut judul). Cerpen itu mempergunakan nama “Eka” sebagai tokoh. Justru karena surel Agus yang membuat saya teringat punya cerpen ini, dan saya harus berterima kasih pula kepadanya.

—————

Keduanya berjumpa di depan bioskop, beberapa menit selewat jam sembilan. Seno sedang berdiri, menunggu kekasihnya yang mampir ke toilet. Samiran sedang membagi-bagikan selebaran kepada orang-orang yang baru keluar dari pintu bioskop. Lalu keduanya berjumpa, berhadap-hadapan.

Seno berwajah melankolis, putih, rambut rapi seperti model iklan minyak rambut. Ia mengenakan kemeja krem tanpa motif, dimasukkan ke dalam celana jinsnya yang berwarna biru tua, dan kakinya dialasi sandal. Ia mengenakan jam tangan mungil, memegang telepon genggam mungil, dan bau parfum melayang dari tubuhnya.

Samiran berperawakan kurus ceking, namun dengan wajah penuh keriangan. Rambutnya gondrong acak-acakan, beberapa hari tak tersentuh shampo dan sisir. Ia mengenakan kaus oblong, jaket, jins dan sandal jepit: semuanya dekil. Di punggungnya tergantung tas kuliah, dan di tangan kirinya ia menenteng kantong kresek berisi ribuan eksemplar selebaran yang siap ia bagikan malam itu. Tangan kanannya menyodorkan selebaran itu pada Seno.

“Apa ini?” tanya Seno.

“Selebaran aksi.”

“Kalian ini! Apa enggak ada hal lain yang lebih bagus selain aksi?”

Samiran hanya tersenyum.

“Menuntut apa lagi?” Seno mendesak.

“Turunkan presiden, adili dan kembalikan uang rakyat yang dikorupsinya. Lengkapna, kami menuntut reformasi politik dan ekonomi secara tuntas.”

“Kalian bertarung melawan tembok tebal, Bung,” kata Seno. “Sebagai mahasiswa, yang katanya kaum intelek, bukankah ada cara yang lebih santun? Belajar, kemudian merumuskan konsep-konsep perubahan untuk diajukan ke pemerintah.”

Samiran lagi tersenyum. “Sudah tiga puluh dua tahun kita melakukan itu, Bung, dan hasilnya nol besar. Karena itu, sekarang kita harus berani mengambil keputusan untuk turun ke jalan.”

Kemudian datang seorang gadis. Menurut Samiran, ia cantik luar biasa. Mengenakan rok mini dan kaos oblong ketat. Ia menghampiri Seno dan lelaki itu mendekapnya. Keduanya berlalu begitu saja, menyetop taksi, dan hilang di dalamnya. Gulungan selebaran yang diberikan Samiran kepada Seno melayang dari kaca jendela taksi, berguling-guling di jalan aspal.

Samiran menelan ludahnya.

***

Hampir tengah malam ketika selebaran terakhirnya diberikan kepada seorang tukang becak, di muka warung bubur kacang hijau. Ia kelelahan, haus dan lapar. Dirogohnya dompet dan diperiksa isinya. Cuma ada seribu perak. Cukuplah untuk mengganjal perut. Maka ia pun masuk ke warung tersebut, duduk di bangku panjang, menghadap meja yang juga panjang, dan berkata kepada si penjual:

“Burjo satu.”

“Campur?”

“Campur.”

Setengah menit kemudian bubur kacang hijau lengkap dengan ketan hitam, pandan, dan air pati terhidang di depannya.

“Minum?” tanya si penjual.

“Air putih saja.”

Air putih pun muncul, dan Samiran tak membuang-buang waktu untuk segera melunasi rasa laparnya.

Kemudian seorang lelaki, sedikit lebih muda darinya, muncul dan duduk di sampingnya, merapat. Samiran menoleh dan tersenyum. Acuh tak acuh, si orang baru itu memesan bubur kacang hijau pula, diikuti tanya-jawab klasik antara penjual dan pembeli. Baru setelah pesanan datang, si orang baru menoleh ke kiri-ke kanan, seperti menakutkan sesuatu. Setelah merasa aman, ia berbisik kepada Samiran.

“Parmo marah kepadamu.”

“Kenapa?” tanya Samiran, juga sambil berbisik.

“Karena kau berkeliaran. Bagi-bagikan selebaran. Itu bukan pekerjaanmu.”

“Itu pekerjaan kita semua,” kata Samiran sambil terus melahap makanannya.

“Tapi kau …”

“Jangan ngomel. Lagipula selebarannya sudah habis kubagikan.”

Si orang baru mendesah dan mengamati sekitarnya lagi. Hanya ada seorang mahasiswa lain di pojok warung, selain mereka dan si penjual. Tak ada yang perlu dicurigai.

“Kau jangan pulang ke rumah,” kata si orang baru lagi.

“Mengapa?”

“Ada enam tentara berkeliaran mencarimu.”

“Jangan berlebihan.”

“Aku serius.”

***

Pagi datang. Tak ada kokok ayam jantan, dan tak ada suara merdu burung-burung berkicau. Pagi disambut dengan tetangga yang memanaskan mesin motor, disambut suara musik dari radio kamar sebelah, dan disambut dengan langkah-langkah sepatu beradu dengan lantai di depan kamar.

Cahaya mnembus lewat kisi-kisi, menerangi kamar tidur yang temaram.

“Kau nakal,” kata Dewi. Bentuk tubuhnya yang tak mengenakan apa pun lagi tak dapat disembunyikan oleh selimut tipis yang menutupi dirinya.

Seno berbalik, mengangkat selimut itu dan bergulir masuk ke dalamnya. Memeluk sang kekasih yang hangat di pagi yang dingin keparat.

“Sebelumnya kau cuma pegang sana pegang sini,” kata Dewi lagi.

“Dan cuma berciuman,” kata Seno melanjutkan.

“Ya, dan berciuman.”

“Kau sendiri mau kuajak menginap di sini.”

“Kau tahu aku ini cewek. Kalau sudah berahi konon susah dikendalikan. Kau yang seharusnya melarangku menginap di kamarmu.”

“Sebagai cowok, aku pun enggak bisa menahan diri,” jawab Seno.

“Sekarang aku enggak perawan.”

“Aku juga enggak perjaka. Aku tak akan meninggalkanmu, Sayang. Janji!”

“Aku lapar.”

“Aku juga.”

“Cari makan di luar, yuk?”

“Jangan gila.”

“Kenapa?”

“Orang-orang bisa tahu kau menginap di kamarku kalau kau keluar sepagi ini. Kita tunggu agak sianglah sedikit. Satu jam lagi.”

“Kalau begitu main lagi, yuk?”

“Main apaan?”

“Seperti yang tadi.”

“Yang begitu?”

“Iya.”

“Ayo.”

***

Siang menjelang sore. Keduanya tengah duduk di ruang tamu sebuah rumah mungil, menghadapi dua gelas kopi di atas meja. Telepon yang terletak di atas meja kecil di sudut ruangan berdering. Rudi berjalan menghampiri telepon, mengangkatnya dan bercakap-cakap tak begitu lama, kemudian kembali lagi ke tempat Samiran duduk menunggu.

“Siapa?” tanya Samiran.

“Rani.”

“Apa katanya?”

“Mahasiswa mulai bentrok dengan polisi.”

“Tai!” Samiran mengumpat. “Seharusnya kita ada di sana, bersatu dalam barisan massa.”

“Enggak boleh.”

“Kita kehilangan momen-momen radikalisme massa.”

“Kita enggak boleh keluar dari rumah ini.”

“Siapa yang melarang?”

“Dengar, Kawan,” kata Rudi. “Kau termasuk orang yang diincar tentara-tentara brengsek itu, dan di sini aku menjagamu. Jangan berbuat tolol. Perjalanan ini masih panjang.”

Samiran merasa sebal, dan menyeruput kopinya yang sudah agak dingin.

Rudi berdiri. “Aku mau ngebom di kakus,” katanya, sambil berlalu ke belakang.
Ditinggal sendirian, Samiran menjadi sangat gelisah. Dirabanya semua saku yang ada di pakaiannya, mencari rokok. Tapi ia cuma menemukan uang empat ratus rupiah. Cukuplah untuk mendapatkan dua batang rokok. Ia pun berdiri, menengok ke belakang dan memastikan Rudi tak melihat dirinya. Ia berjalan keluar rumah diam-diam, dan menuju kios rokok terdekat di ujung gang kecil.

Ia membeli dua batang rokok. Yang satu batang ia simpan di dalam bungkus rokok bekas dan disimpannya di saku juns. Yang lain sudah bertengger di bibirnya. Ia membakar ujung rokok dengan korek api milik si penjual dan segera kembali, takut Rudi sudah selesai cebok dan mendapati dirinya keluar rumah. Bisa habis ia diomeli.

Tapi ia belum sempat ke rumah ketika dua lelaki berdiri di depannya. Berbadan tegap dengan rambut pendek. Ada yang menonjol di pinggangnya, tertutup oleh jaket kulit.

Nalurinya segera membuatnya melompat ke samping, menerjang tanaman pagar dan berlari masuk ke sebuah hutan kecil di belakang rumah. Kedua orang itu tak mau tinggal diam. Mereka melesat mengejarnya.

Samiran terus berlari. Rokok di bibirnya sudah terbang entah ke mana. Ia menabrak belukar, dan sesuatu meletup menembus punggungnya. Sakit sekali, dan itu membuatnya terhuyung-huyung sebelum rebah di atas tanah yang dipenuhi dedaunan gugur.

Kedua orang itu datang menghampiri. Salah satu dari mereka berjongkok dan memeriksa dirinya, lalu berkata:

“Ia mati.”

“Tembakanmu mungkin kena jantungnya,” kata yang lain.

Si orang pertama cuma mengangkat bahu.

“Kita harus melenyapkan jejak kematiannya. Itu perintah jika kita gagal menangkap hidup-hidup.”

“Begitulah,” kata si orang pertama. “Bantu aku menyeretnya.”

Mayat Samiran diseret beberapa meter sebelum dilemparkan ke dalam Jeep yang menunggu di pinggir hutan kecil tersebut.

***

Sore hari membuat Seno keluar dari rumah pondokannya. Dalam kepalanya, membayang selalu potongan-potongan gambar sang kekasih sebagaimana ia ingat pada pengalaman hebat yang telah mereka dapatkan bersama. Ia merindukan si gadis, ingin selalu bersama, dan itu membuat kakinya menelusuri trotoar ke arah yang sangat ia kenali. Rumah sang kekasih.

Betapa terkejutnya ia menyaksikan jalanan lain dari hari-hari biasa. Tak ada kendaraan lalu-lalang, tapi dijejali orang-orang.

Uap amarah seperti mengambang di atas aspal hitam.

Seno seketika sadar ia telah terperangkap di tengah-tengah aksi demonstrasi. Di barisan depan, sekelompok mahasiswa berbaku hantam dengan polisi. Di belakangnya, rekan mereka melempari pasukan polisi lain dengan batu dan kayu. Ia terus berjalan dan merasa tak punya urusan apa pun dengan semua itu.

Kemudian moncong meriam gas air mata meletus, dan senjata menyalak. Para mahasiswa berlarian, dalam hiruk-pikuk yang kacau sambil sesekali terus melemparkan batu dan kayu. Bom gas air mata melesat, meledak dan satu pasukan polisi bersenjata merengsek. Polisi membabi buta. Para mahasiswa berlarian menyelamatkan diri, melompati pagar, benteng dan masuk ke perkampungan. Disembunyikan penduduk.

“Kena kau!” tiba-tiba seorang polisi telah mencengkeram tangan Seno.

“Mahasiswa anjing! Jangan belagak kau!” Polisi lain datang dan menghantam punggung Seno dengan tongkat pentungan.

Seno belum lepas dari rasa terkejut ketika tendangan lutut polisi pertama menerjang perutnya.
“Rasakan kau. Asu!”

Seno tergeletak, meringis. “Ampun, Pak. Saya bukan demonstran!”

“Pura-pura lagi!” Si polisi pertama melayangkan tendangan ke mukanya.

Lalu satu pukulan tongkat tepat di batok kepalanya. Yang terakhir ini membuatnya menumpahkan darah, dan mengakhiri hidupnya.

***

Esok harinya, kami membawa mayat Seno dalam iring-iringan penuh duka cita. Ribuan mahasiswa mengantarnya ke permakaman, sambil menyanyikan Hymne Darah Juang dan Gugur Bunga. Rangkaian bunga duka cita memenuhi rumah korban. Para aktivis hukum mengunjungi sanak famili Seno, dan siap menggugat jenderal-jenderal polisi atas pembunuhan berdarah dingin ini. Surat kabar, radio, televisi, menempatkan Seno sebagai pahlawan reformasi. Namanya harum bagai bunga.

Sementara itu, tak seorang pun tahu, di mana mayat Samiran berada.

22 November 1999


Den Haag, Setelah Sepuluh Tahun

$
0
0

Pertama kali pergi ke luar negeri, saya pergi ke Den Haag tahun 2006 untuk menghadiri festival Winternachten (dan itu pula alasan pertama saya akhirnya punya paspor). Meskipun ada beberapa penulis Indonesia lainnya saat itu (A.S. Laksana dan Dinar Rahayu), kami jalan sendiri-sendiri dengan jadwal penerbangan yang berbeda. Jadi bisa dibayangkan betapa gelisahnya saya selama belasan jam di pesawat. Bagaimana kalau nanti tak ada yang jemput, atau tak bertemu yang jemput di bandara Schiphol? Tidur di mana? Hubungin siapa (zaman itu telepon genggam belum secanggih sekarang, lah)? Bagaimana kalau nyasar? Ya, terdengar norak. Untunglah apa yang saya kuatirkan tak terjadi, meskipun bukan berarti tak ada kekonyolan. Malam pertama saya di kamar hotel merupakan sejenis penderitaan karena saya kedinginan, harus menimbun diri di balik selimut dan penutup kasur, hanya karena saya tak tahu bagaimana menghidupkan penghangat ruangan. Hahaha. Yang membuat saya diundang ke festival itu adalah sebuah cerpen berjudul “Kutukan Dapur”. Saya pikir, mungkin karena cerpen itu sedikit lucu dan ada Belandanya, dan kebetulan ada versi terjemahan Inggrisnya, jadi mereka bisa mengerti. Waktu itu novel Cantik Itu Luka, yang berkisah tentang seorang indo sejak akhir kolonial hingga Indonesia kemarin sore, tentu sudah terbit. Tapi bisa dibilang tak ada yang menyinggung soal novel tersebut. Novel itu hanya tersedia dalam bahasa Indonesia (dan Jepang), jadi bisa dimaklumi jika tak diketahui, kecuali oleh orang-orang yang secara khusus menaruh minat kepada kesusastraan Indonesia (dan kebetulan menemukan novel saya). Tentu saja selama rentang waktu itu sempat ada pembicaraan tentang kemungkinan menerjemahkan novel itu ke bahasa Belanda, sayang sekali tak menemukan penerbit. Padahal dulu saya pikir, jika novel tersebut diterjemahkan ke bahasa asing, ke bahasa Belanda merupakan kemungkinan paling besar dan pertama. Alasannya sederhana. Indonesia dan Belanda memiliki ikatan sejarah, dan mungkin emosional; novel itu juga menyinggung pendudukan Belanda di Indonesia; selain itu faktanya ada beberapa karya sastra Indonesia diterbitkan di Belanda. Ternyata itu tak terjadi, dan saya sadar: saya naif. Hingga akhirnya tahun ini diterbitkan oleh Lebowski dengan judul Schoonheid is een Vloek, diterjemahkan oleh Maya Liem dan Sven Aalten. Yang sedikit menyedihkan (atau tak perlu sedih? Kenaifan saya enggak sembuh-sembuh), editor dari penerbit ini tahu novel tersebut bukan dari edisi Indonesia (tidak pula dari orang Indonesia), tapi dari edisi bahasa Inggris, diperkenalkan oleh editor saya di Amerika (bahkan akhirnya memakai sampul yang sama dengan versi New Directions). Kadang-kadang jalan memang harus memutar. Karena buku itu, akhirnya saya datang kembali, dan ketika tiba di bandara Schiphol, baru saya sadar tentang jeda sepuluh tahun itu. Gara-gara delay lama, sekarang saya malah benar-benar ditinggal penjemput sehingga harus naik taksi sendiri ke hotel, tapi tak apa-apa. Sudah pernah terlunta-lunta di bandara negeri orang, bahkan ditinggal kereta, jadi lebih siap mental. Bahkan pernah masuk detention room berjam-jam (meskipun akhirnya dilepas tanpa interogasi apa pun), di masa ketika pengamanan bandara sedang gila-gilanya. Sepuluh tahun, rasanya lama sekali. Selain akan ngobrol soal novel tersebut, saya ingin menebus apa yang tak saya lakukan sepuluh tahun lalu: pergi ke Amsterdam dan mengunjungi salah satu pelukis kesayangan saya. Vincent van Gogh. Tentu, museumnya. Dan kali ini saya tak perlu pusing mencari di mana tombol penghangat ruangan kamar hotel. Musim panas sudah datang menjelang.

Menulis (dengan Penuh Gaya) Bersama Raymond Queneau

$
0
0

Buku pertama Raymond Queneau yang saya baca, ironisnya terbit tidak mempergunakan namanya (ia memakai nama Sally Mara), berjudul We Always Treat Women Too Well. Isi ceritanya agak gokil, bergaya novel bubur kertas (boleh enggak sih, pulp fiction diterjemahkan begitu?), yang memperlihatkan kecenderungan Queneau untuk bereksperimen dengan bebas dan ringan, membuatnya menjadi salah satu figur menonjol dalam kesusastraan Prancis (tapi karena gayanya yang nyeleneh seperti itu, mungkin menjadi sulit diterima di belahan dunia lain). Novel ini secara ringkas adalah: “Sebuah kantor pos di tengah kota Dublin diserang sekelompok orang bersenjata, yang menyebut dirinya sebagai pejuang Republik Irlandia. Mereka berhasil membunuh beberapa pegawai pos, dan dengan cepat juga adu tembak dengan tentara Britania yang mengepung mereka. Sialnya, ada seorang gadis pegawai pos yang terjebak di dalam gedung. Mengingat sucinya perjuangan mereka, para pemberontak ini tak mau membunuh seorang gadis. Tapi apa daya, satu orang malah tergoda kebinalan gadis itu dan kehilangan keperjakaan, dan teman lainnya menyusul. Ketika tentara Britania berhasil melumpuhkan mereka, dan dua pemberontak menyerah, mereka berharap si gadis tak mengatakan apa-apa. Itu bisa menyembunyikan aib si gadis, sekaligus menasbihkan mereka sebagai pahlawan suci yang menjaga kehormatan seorang gadis. Sial, si gadis menipu semua pihak dengan mangatakan, para pemberontak mencoba menyibakkan gaunnya.” Bisa membayangkan isi novelnya? Atau cara saya meringkas masih terlalu kering? Baik, mari saya coba lagi: “Aku sembunyi di toilet perempuan, hingga mereka menemukanku. Para pemberontak yang menyedihkan. Mereka mencoba menginterogasiku, tapi sekilas saja aku tahu betapa naif orang-orang ini. Mereka akan berakhir menjadi bangkai, mereka tak akan mungkin mengalahkan pasukan Britania. Tapi masalahnya, mungkin saja aku juga menjadi bangkai, ditembak pemberontak atau tertembak pasukan pemerintah. Aku harus berusaha bertahan hidup. Aku menggoda satu di antara mereka, yang napasnya langsung tersengal begitu menyentuh tubuhku. Lututnya gemetar dan ia meminta tobat berkali-kali, meskipun tanpa daya menghampiriku. Kemaluannya telah mengendalikannya. Dan si bujang ini memasuki kemaluanku, hanya dalam hitungan waktu yang ringkas. Aku bisa menaklukkan mereka. Dan menyadari hal ini, mereka mulai merengek. Memintaku untuk tak mengatakan apa pun yang telah terjadi, jika mereka tertangkap. Menjadi pahlawan yang terhormat jauh lebih penting buat mereka daripada nyawa atau apa pun. Mereka pikir aku tak akan mempermalukan diri sendiri. Tentu saja itu benar. Aku tak akan mempermalukan diriku, tapi aku akan mempermalukan mereka. Dalam hidup dan mati.” Masih terasa enggak asyik? Jangan kuatir, kamu bisa menceritakan kisah tersebut dengan caramu sendiri, dengan berbagai gaya. Saya menyadari hal itu setelah membaca buku Raymond Queneau yang lain (kali ini benar-benar mempergunakan namanya sendiri), berjudul Exercises in Style. Itu benar-benar buku latihan yang penuh gaya, yang saya rasa wajib dibaca semua penulis, dan dianggap sebagai mahakarya Queneau. Buku ini lebih ajaib dari buku pertama yang saya baca, yang sok ingin jadi novel bubur kertas itu, karena hanya menceritakan kisah yang lebih ringkas: tentang seorang lelaki naik bus, kesal dengan penumpang lain, lalu dua jam kemudian ketemu temannya yang memberinya saran untuk menambahi kancing di mantelnya. Cuma itu! Yang menjadikannya unik, adegan yang bisa ditulis dua paragraf tersebut ditulis sebanyak 99 kali dengan gaya yang berbeda. Dari gaya metaforis, mimpi, sampai gaya orang menulis blurb di belakang buku. Juga gaya surat resmi sebuah perusahaan dan teks pidato. Serius tapi konyol minta ampun. Setidaknya, buku ini bisa menjadi bahan ejekan: berapa kali kamu sudah mencoba menuliskan ceritamu dengan cara yang berbeda hingga menghasilkan tulisan paling asyik?

Eka Kurniawan: Seks, Hantu Ndak Jelas dan Membosankan

Sepak Bola Sebagai Drama

Design Story: Beauty Is a Wound

The Ballad of the Sad Café, Carson McCullers

$
0
0

Cerpen-cerpen di kumpulan The Ballad of the Sad Café ini kebanyakan bikin sedih (seperti judulnya). Sedih yang bikin gregetan karena keadaan tokoh-tokohnya memang memaksa ceritanya jadi sedih. Jujur saya enggak terlalu kenal Carson McCulers, kecuali novel pertamanya yang sering disebut-sebut orang, The Heart Is a Lonely Hunter. Seorang teman memberi saya kado dan isinya kumpulan cerpen dia, dan itu berarti hal baik: saya mencoba membaca penulis yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Apalagi saya sedang ingin mencekoki kepala saya dengan banyak cerpen-cerpen bagus, menyadari asupan soal genre cerpen ini memang sangat kurang sekali. Ada aroma “selatan” dalam cerpen-cerpennya, dengan lanskap yang kering, membosankan, tapi pada saat yang sama, penuh karakter yang riuh dan hidup. Meskipun begitu, alurnya lebih terasa kontemporer, dengan potongan-potongan kisah yang nyaris menyerupai fragmen, dan kita mencoba membaca apa yang ada di sebalik kisah tersebut. Kisah pertama, “The Ballad of the Sad Café” bisa dibilang sebagai sebuah novela, menghabiskan separoh buku sendiri. Inti ceritanya bisa disederhanakan oleh satu kutipan dari tengah-tengah cerpen tersebut: “Once you have lived with another it is a great torture to have to live alone.” Ya, tentang seorang perempuan hebat (kaya, jago bisnis, dan bahkan jago tinju) yang tak berdaya menghadapi rasa ditinggalkan. Ia pernah kawin dengan seorang tukang rusuh tapi ganteng, yang cuma bertahan sepuluh hari. Si tukang rusuh kabur, jadi penjahat dan masuk penjara. Lalu datang sepupunya, orang pincang jelek, tapi si perempuan bahagia ditemaninya. Hingga si tukang rusuh kembali dan si pincang jadi penguntitnya, pengagumnya, dan berdiri di pihak si tukang rusuh itu. Ada satu hal yang tak pernah diceritakan di sini: bagaimana Miss Amelia, si perempuan ini, berpisah dengan si tukang rusuh Marvin Marcy. Tapi kemudian saya ingat, bahwa kadang dalam cerpen yang bagus seperti ini, memang ada hal-hal yang sengaja (atau tak sengaja) tidak diceritakan. Dibiarkan terbuka untuk diisi oleh imajinasi pembaca. Kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam pertama mereka, dan malam-malam setelahnya sebelum mereka berpisah. Kita hanya tahu, mereka tak baik-baik saja. Cerpen-cerpen lain jauh lebih pendek, hanya delapan hingga dua belas halaman, dan beberapa di antaranya sangat saya sukai. “Madame Zilensky and the King of Finland” merupakan humor lempeng yang, kita tak tega untuk menertawakannya. Tentang guru musik yang karena seriusnya menghadapi musik, seperti tak menganggap hal lain di luar itu sebagai hal penting untuk dianggap serius. Bahkan ketika berbohong, ia tak sadar telah berbohong. “A Domestic Dilemma” juga humor pahit yang membuat kita ingin mem-puk-puk karakternya. Tentang keluarga “selatan” yang harus pindah ke jantung megapolitan bernama Manhattan. Si isteri mulai tak bahagia, dan jadi pemabuk. Dua anaknya jadi sering terbengkalai. Suaminya sering kesal, membencinya, tapi tak berdaya karena juga mencintainya. Sialnya, karena sebelum membaca cerpen-cerpen ini saya iseng membaca biografi McCullers, saya jadi merasa banyak cerpen-cerpen ini dipenuhi oleh pantulan kisah dirinya sendiri. Boleh kan, membanding-bandingkan karya dan penulisnya? Suka-suka saya dong sebagai pembaca. Isteri yang tak bahagia dan suami yang benci-dan-cinta mungkin dirinya (nyatanya ia bercerai dan kawin dengan suaminya beberapa kali). Termasuk banyak pembicaraan tentang musik (ada murid sekolah musik, guru musik, mantan yang memainkan piano), juga tak terlepas dari keinginan awal McCullers untuk menjadi pemusik sebelum memutuskan menjadi penulis. Soal musik ini, ada satu cerpen yang saya rasa dibangun dengan sangat indah (menyayat-nyayat hati, sih), melalui deskripsinya tentang musik dan permainan piano. Judulnya “The Sojourner”, tentang seorang lelaki yang mengunjungi mantan isterinya, dan tercabik-cabik melihat keluarga mantan isterinya hidup bahagia. Ah, kalau soal ini, siapa sih yang tahan melihat mantan bahagia?

Kaos Merchandise

$
0
0

lh_sq

Biar kayak anak band (ehm), juga karena saya memang keranjingan kaos oblong, saya bikin toko merchandise untuk jualan kaos bertema buku-buku saya. Ada yang dari sampulnya, ada yang berbetuk kutipan. Untuk sementara ada tiga kaos: “Corat-coret di Toilet”, “Lelaki Harimau” dan “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Kalau tertarik, sila berkunjung ke:

tokopedia.com/ekakurniawan

ccdt_sq

Di sana juga terdapat beberapa buku saya, terutama untuk yang kesulitan memperolehnya di toko-toko buku terdekat atau toko buku daring langganan.

sdrhdt_sq

tokopedia.com/ekakurniawan


Travel the World in 13 Books

Fresh Talent: Beauty Is a Wound

Bagaimana Menghasilkan Uang Melalui Sastra

$
0
0

Saya membuat judul jurnal ini “Bagaimana Menghasilkan Uang Melalui Sastra” biar banyak yang baca, sebab sepengalaman saya bertahun-tahun menulis jurnal di sini, orang cenderung tertarik hal-hal semacam itu. Siapa sih yang enggak doyan duit? Kalau ada artikel tentang menghasilkan uang hanya dengan tidur delapan jam sehari, saya juga tergoda untuk membacanya. Kenyataannya, memang judul itulah yang terpikirkan ketika membaca novel karya Marek Hlasko, berjudul Killing the Second Dog. Apakah ini novel tentang menghasilkan uang dengan cara membunuhi anjing? Tak bisa dibilang begitu juga, meskipun memang ada anjing yang dibunuh. Adegan yang, demi sopan-santun kepada semua anjing, hanya diceritakan sekilas saja. Itu pun hanya pembunuhan kedua. Pembunuhan pertama dan ketiga, atau kesekian lainnya, tak diceritakan, anggap pembaca mengerti saja. Yang lebih tepat, ini novel tentang menghasilkan uang melalui kesusastraan, atau lebih sederhananya lagi, melalui kemampuan berkisah. Sebelum saya membocorkan bagian-bagian mengenai cara menghasilkan uang melalui kesusastraan, karena saya yakin ini bagian paling menarik dari jurnal sok tahu ini, izinkan saya melipir dulu memuja-muji novel ini di bagian-bagian lainnya yang tak bisa saya abaikan. Gaya menulisnya bisa dibilang brutal, tapi penuh adegan dan dialog lucu, terutama jika mengetahui sedikit saja tentang sejarah kesusastraan dunia, sebab sesekali novel ini sedikit mengejek Shakespeare, atau Sartre, atau Chekhov, bahkan seni peran Stanislavsky. Berkisah mengenai dua lelaki, Robert dan Jacob, yang menggelandang di negara gersang dan panas (dan bisa dibilang enggak ramah) bernama Israel di sekitar tahun 1950an. Ya, tak lama setelah Perang Dunia II dan negara itu menjadi tujuan banyak orang, Yahudi maupun bukan. Mereka dua orang cerdas, tapi bisa dibilang pecundang. Kere. Keluar-masuk bui. Tak punya uang. Kelaparan. Dikejar-kejar kreditor, dan dicurigai polisi. Tak hanya itu, nasib apes juga mengekori mereka terus. Hingga mereka menemukan satu cara brilian untuk menghasilkan uang, tak hanya untuk hidup tapi juga untuk sedikit bersenang-senang, melalui kesusastraan. Dunia yang tak asing bagi mereka. Yang satu sarjana sastra Inggris, yang lain sutradara teater. Bagaimana caranya? Tunggu dulu. Saya perkenalkan dulu penulisnya. Marek Hlasko bisa dibilang tipikal penulis pemberontak: muncul nyaris mendadak (entah dari mana), bikin gempar, lalu mati muda. Ketika kesusastraan Polandia tampak lesu selepas perang, ia muncul dengan karya-karyanya yang memperlihatkan arus baru. Di novel ini, misalnya, kita bisa melihat gaya ala-ala novel hardboiled, tapi pada saat yang sama penuh alusi-alusi biblikal layaknya novel-novel klasik Eropa. Telaahnya terhadap jiwa dan psikologi manusia, meskipun dibawakan dengan ringan dan cenderung untuk meledek, bagi saya (yang membacanya bertahun-tahun kemudian setelah terbit), terasa tetap segar. Ada kesan getir generasi pasca perang, tapi dengan humor dan ekspresi-ekspresi yang apa adanya, juga memberi kesan gairah hidup yang menyala-nyala. Setidaknya dengan hidup yang berantakan dan dunia yang suram, melalui kesusastraan (yang meskipun tak mereka yakini, tapi mereka senangi), keduanya bisa memperoleh 700 dolar Amerika. Enggak banyak, tapi untuk ukuran Israel di zaman itu, kau bisa hidup foya-foya. Jadi bagaimana caranya menghasilkan duit dari kesusastraan? Saya memutuskan untuk tak menjawabnya. Mending baca sendiri novelnya dan belajar dari dua sosok gila bernama Robert dan Jacob itu.

Antitesis Cinta Monyet

In Praise of Shadows, Junichirō Tanizaki

$
0
0

Seperti judulnya, In Praise of Shadows, buku esai tipis ini bicara tentang bayangan. Tentang terang dan gelap, dan terutama tentang kekaguman sang penulis, Junichirō Tanizaki, terhadap bayangan. Terhadap aspek gelap dari dunia. Sekaligus memperlihatkan sikap enggan terhadap yang terang benderang, cahaya yang menyilaukan, yang menurutnya, membuang-buang enerji (memang benar kalau kita melihat lampu-lampu neon di pusat-pusat perbelanjaan, di jalanan kota, yang sebagian besar lebih sering sia-sia dan pemborosan). Mulai bicara tentang letak kakus di rumah-rumah tradisional Jepang, yang umumnya terpisah dari rumah utama, dengan pencahayaan yang biasanya remang-remang. Tempat, yang menurutnya, “Para penyair haiku selama berabad-abad menghasilkan karya-karya besar mereka.” Ia kemudian beralih kepada arsitektur rumah Jepang tradisional secara umum di mana, “Para leluhur kami memangkas keterang-benderangan di permukaan tanah dari atas dan menciptakan sebuah dunia bayang-bayang.” Saya selalu suka membaca buku-buku esai semacam ini, yang membicarakan hal-hal yang barangkali di permukaan tampak sepele, tapi sangat kaya. Terutama jika ditulis oleh seorang novelis, dengan alur pemikiran laksana membaca novel. Maka ketika seorang teman, seorang jurnalis dan penyair, Nezar Patria membicarakan buku ini di satu pertemuan kami, saya langsung mencari dan membacanya. Buku tipis ini tak hanya bicara tentang estetika bayang-bayang, tapi juga bisa untuk melihat bagaimana seorang penulis Jepang ternama memandang kontras kebudayaan Barat dan Timur, juga di mana posisi perempuan dalam estetika bayang-bayang ini. Intinya, jika saya boleh menyimpulkan, berbeda dengan estetika yang memuja keterang-benderangan (cahaya yang melimpah) di mana keindahan terletak pada segala yang tampak, estetika bayang-bayang ini justru lebih bermain pada hal-hal apa yang disembunyikan (dan karenanya akan tampak apa yang muncul). Di luar masalah arsitektur, esai ini juga dibawa ke makanan, cara penyajian makanan, bahkan tentang istilah “putih” untuk kulit, di mana putih untuk ras Eropa tidak sama dengan putih yang dibayangkan lelaki Jepang atas kulit perempuan mereka. Di luar usahanya untuk menelisik, dan terutama untuk membangun dasar atas kekagumannya terhadap segala yang berupa bayang-bayang serta kebudayaan tradisional Jepang, dalam beberapa hal pemikiran-pemikirannya sedikit mengganggu, jika tak bisa dibilang cukup bikin gemes. Misalnya, usaha Tanizaki yang sangat kontras membedakan Barat dan Timur. Bagi dia, estetika terang-benderang ini merupakan warisan kebudayaan Barat (dan masuknya ke Jepang, tentu juga merupakan pengaruh kebudayaan Barat). Tentu saja menurut saya ini agak meragukan, atau menyederhanakan. Cukup melihat lukisan-lukisannya Rembrandt, kita tahu ada sebagian Barat yang juga memuja bayang-bayang dan warna gelap. Pandangan semacam ini hanya mengekalkan sejenis orientalisme, seperti sering terjadi di kita juga. Misalnya, Timur penuh tahayul sementara Barat rasional (hah, belum lihat Conjuring?). Saya malah mengira-ngira perbedaan estetika bayang-bayang dan terang-benderang ini ada kaitannya dengan epistemologi. Keterang-benderangan, bisa jadi lahir bersamaan dengan pencerahan. Arsitektur yang membiarkan cahaya matahari masuk ke rumah secara melimpah, bisa jadi ada kaitannya erat dengan rasionalitas (Tanizaki sama sekali tak menyinggung kemungkinan-kemungkinan ini). Kita bisa mendebat argumen-argumen Tanizaki di buku ini tentu saja, apalagi bagi orang-orang yang paham kebudayaan Jepang (saya tidak termasuk), termasuk estetika mengenai kecantikan perempuan. Meskipun begitu, penjelajahannya mengenai dunia bayang-bayang ini tentu saja tetap mengasyikan, membuka ruang-ruang tafsir baru terutama di banyak hal (rasa yang samar-samar di makanan, kesunyian di dalam musik, bagian-bagian tubuh yang disembunyikan di dalam fashion, dan lain sebagainya). Saya rasa penulis harus lebih banyak menghasilkan karya semacam ini, menjelajahi satu tema dalam satu buku utuh, jangan cuma riang dan merasa cukup dengan bunga rampai esai dan pikiran sejengkal-dua jengkal.

Dua Resensi “Schoonheid is een vloek”

Obrolan tentang Pangandaran

$
0
0

Baru kali ini mudik ke Pangandaran dan dicegat wartawan: “Eka Kurniawan dan Mimpi Kecilnya untuk Pangandaran”. Ibu, paman, bibi, adik-adik saya masih tinggal di kota kecil itu, tentu saja saya masih menganggap pergi ke Pangandaran sebagai “mudik”. Dan tentu saja masih banyak impian kecil lain di kepala saya mengenai kota ini.


“Schoonheid is een vloek”

‘O’ a dangerous tale on The Law of the Jungle

$
0
0

“With remarkable skill, Eka tells a story about animals and human beings arguing about the existence of God, religion and our fate.” O review from The Jakarta Post by Elysa Ng.

Dag Solstad: Tanggung Jawab Penulis adalah Bikin Karya Bagus

$
0
0

Setelah berkenalan melalui novel Aib dan Martabat, saya langsung mengenali nama penulis ini ketika melihat edisi terbaru The Paris Review, di rubrik wawancara yang saya demenin di jurnal itu: “The Art of Fiction” (dia kebagian nomor 230). Di kesusastraan Skandinavia (tepatnya doi berasal dari Norwegia), konon dia dianggap sebagai “an anavoidable voice”. Saya makin demen, nih. Dan makin seneng aja ketika dia ditanya, bagaimana awalnya dia pengin jadi penulis? Jawabannya: gara-gara baca Knut Hamsun. Berasa punya temen, deh. Knut Hamsun emang gokil. Baru satu novel Dag Solstad yang saya baca (berharap bisa baca yang lainnya di kemudian hari), tapi membaca wawancaranya sungguh menyegarkan. Ada satu bagian yang saya rasa perlu menjadi perenungan ketika ia ditanya, di luar Hamsun, penulis siapa aja yang dibaca dan memengaruhi. Ia bilang, sebagian besar penulis yang disukainya (Kafka, Dostoyevsky, dan lain-lain) justru dibacanya ketika berumur akhir 20an, “Ketika sudah lewat masa penjara kanak-kanak.” Di luar bayangan kebanyakan orang dewasa yang menganggap masa anak-anak sangat menyenangkan (maklumlah, seperti kata Little Prince, orang dewasa imajinasinya payah), anak-anak seringkali terpenjara: oleh keinginan orang tua, guru, masyarakat. Enggak boleh ini, enggak boleh itu. Pikiran dan tindakan mereka dikendalikan oleh orang dewasa. Nah, menurut Solstad, justru ketika dewasa ia merasa lebih bebas. Seharusnya sih, begitu. Kenyataannya mungkin malah banyak orang semakin dewasa semakin terpenjara. Pikirannya semakin mudah dikendalikan. Enggak bisa ini, enggak bisa itu, dan yang ngelarang ternyata dirinya sendiri! Dan ini juga hal seru: mengenai komunitas. Dia merasa beruntung di awal karirnya bergabung dengan majalah sastra Profil. Dia ketemu banyak orang keren di sana, yang membaca segala hal, mengetahui banyak hal. Kecuali dirinya, ia merasa teman-temannya memiliki keistimewaan masing-masing. Pernah ia mencoba ikut berdebat, tapi tak pernah berhasil mempertahankan argumennya (karena dia enggak tahu apa-apa). Akhirnya ia memilih diam dan mendengarkan. Terus mendengarkan. Hasilnya? “Aku tak memiliki keistimewaan apa-apa, tak memberi apa-apa tapi memperoleh paling banyak.” Hahaha. Itu lucu, tapi boleh dimaafkan. Memang banyak kok orang yang cerewet dan ngomong banyak, sebenarnya bukan “memberi banyak”, tapi lebih “pengin didengar”. Argumennya enggak penting, yang penting ada yang dengar, syukur-syukur enggak dibantah. Ada yang kayak begitu, percayalah. Ada. Dan terakhir, mengenai keistimewaan penulis (memiliki kebebasan bicara, misalnya), ia ditanya mengenai tanggung jawab. Si pewawancara mengutip tentang kebebasan melahirkan tanggung jawab. Nah, apa tanggung jawab seorang penulis? Sebagai seorang komunis, lebih tepatnya seorang Maois, saya bayangkan dia bakal jawab mengenai tanggung jawab sosial, tentang mencerdaskan masyarakat, menggunting belenggu penindasan, atau sejenisnya. Ternyata dia malah bilang: tanggung jawab penulis ya bikin karya bagus. Itu yang paling penting. “If you are a writer, being able to make a good piece of art is of the utmost importance — that’s your primary responsibility.” Bener juga ya, kalau enggak merasa punya tanggung jawab semacam itu, ngapain nyebut sebagai penulis? Lu Hsun kurang-lebih pernah mengatakan hal yang sama. Jadi boleh lah saya anggap itu jawaban paling kiri. Banget. Tinggal sekarang baku-hantam saja tentang apa itu “bagus”.

The Sleepwalkers (1): The Romantic

$
0
0

Membaca bagian pertama (dari trilogi) The Sleepwalkers karya Hermann Broch berjudul “The Romantic”, tampak seperti membaca roman picisan saja. Tentang kisah cinta segitiga, dan kemudian segi empat dengan munculnya satu pengganggu yang kurang ajar dan menyebalkan. Milan Kundera sangat mengagumi novel ini, bahkan memberi satu bagian khusus membicarakan novel ini di buku The Art of the Novel, sementara kesusastraan Jerman menganggapnya sebagai salah satu dari tiga novel besar berbahasa Jerman di paruh pertama abad kedua puluh (dua lainnya: The Magic Mountain dan The Man Without Qualities, nama-nama penulisnya cari sendiri saja, deh. Gampang, kok). Tentu saja kita tak perlu setuju dengan mereka, juga tak perlu ikut-ikutan mengagung-agungkan karya yang enggak ada hubungannya dengan periuk nasi kita, apalagi ranjang kita, tapi penasaran baca boleh, dong. Masa penasaran saja enggak boleh. Kalau rasa penasaran saja dibunuh, apa bedanya dengan hidup di negeri fasis? Terutama kalau merasa diri dongok dan tolol, seperti saya, ya wajib menjaga rasa penasaran dan rasa ingin tahu. Saya sangat haus bacaan, dan kalau ada yang bilang: novel ini bagus, lho, tentu saja langsung napsu pengin baca. Terutama setelah nulis empat novel, dan saya mencoba menengok kembali diri saya ke belakang, dan saya merasa cuma pinter nyampur-nyampur ini-itu doang. Cerita silat dicampur sedikit horor, ditambahi pseudo-sejarah, dan sedikit komentar politik. Lain kali sok-sokan menganalisa psikologi karakter, padahal ya enggak banyak tahu soal psikologi. Nyampur-nyampur drama, kisah cinta, misteri, petualangan. Diperparah dengan bahasa yang segitu doang. Semakin memikirkan itu, semakin saya berpikir untuk jadi petani saja. Tapi karena enggak pengalaman bertani, ujung-ujungnya kembali baca buku. Pengin tahu kenapa orang lain bisa begitu pinter nulis. Kembali menyiksa diri dengan pura-pura belajar. Kembali ke novel ini, lebih tepat bagian pertamanya (habis tebel, saya bacanya nyicil sambil duduk di kakus). Ceritanya bisa diringkas begini: Joachim, seorang prajurit dan anak tuan tanah, jatuh cinta sama gadis penghibur bernama Ruzena. Kepadanya ia merasa nyambung secara rasa maupun seksual. Ngepas, bahasa anak gaulnya. Pada saat yang sama, ia dijodohkan dengan tetangganya, dari kasta yang sederajat, sesama anak tuan tanah: Elisabeth. Pinter, dan tentu secara sosial cocok. Dia bingung. Minta nasehat sama temannya, jebolan tentara juga yang memutuskan jadi pengusaha bernama Bertrand. Sialnya, selain nasehat-nasehatnya rada-rada kasar dan apa adanya, diam-diam dia menggoda kedua cewek itu. Ruzena sih ogah sama dia, tapi Elizabeth terpukau dengan keterus-terangannya. Bener, kan, kayak novel picisan sebenarnya? Saya suka dengan sosok si Bertrand, yang ganggu dan tukang manas-manasin orang dengan pikiran-pikiran bebasnya. Satu hal yang terpikir oleh saya membaca “The Romantic” (julukan ini tampaknya ditujukan kepada Joachim), kita bisa melakukan studi mengenai karakter. Meskipun ditulis dengan gaya realis yang tertib dan dingin, saya tak bisa menahan diri menangkap kesan kocak dan karikatural dari karakter-karakternya. Empat karakter yang berbeda (bisa lebih jika kita menghitung ayah Joachim, dan calon mertuanya), menghadapi berbagai macam isu yang berbeda (persahabatan, cinta, karir, pernikahan). Bahkan di akhir cerita, ketika Joachim dan Elizabeth terdampar di satu kamar hotel dalam perjalanan bulan madu mereka, keduanya tampak sangat komikal. Sangat canggung memandang apa arti perkawinan dan malam pertama mereka. Benar-benar kisah yang lucu. Cuma itu? Sementara cuma segitu yang terpikirkan, sebab cuma memikirkan itu saja kepala saya sudah nyut-nyutan dan rada panas. Tapi saya berjanji akan membaca bagian berikutnya, yang kedua dan ketiga. Tentu saja nanti di kesempatan “pup” berikutnya. Saya pakai kata “pup”, sebab konon itu kata paling sopan untuk tindakan duduk di kakus, juga untuk memperbanyak kosakata saya yang menyedihkan ini. Pup. Pup. Pup.

Kumpulan Budak Setan

$
0
0

budak-setan

Kongkow bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad, selain ngomongin Kumpulan Budak Setan yang akan dirilis kembali oleh Gramedia Pustaka Utama (sampul dengan sedikit perubahan di bawah), juga ngomongin tentang kemungkinan Kumpulan Budak Setan #2. Apa, nomor #2? Ya, kenapa tidak? Gagasannya tetap: tribut untuk para suhu. Kali ini diperluas tak hanya Abdullah Harahap, juga genrenya tak hanya horor, tapi bisa meliputi fantasi, cerita aneh, dan sejenisnya. Penulisnya? Kami bertiga dan kami ingin mengajak lebih banyak penulis, dengan sistem terbuka untuk siapa pun. Gagasannya, kami akan jadi kontributor sekaligus editor. Lebih detailnya menyusul, ya. Yang tertarik, siap-siap saja sambil baca-baca kembali para suhu yang kita punya.

kbs

Viewing all 259 articles
Browse latest View live